tag:blogger.com,1999:blog-10634294537190241042024-03-20T02:31:44.284-07:00IKATAN PENGEMBANG TEKNOLOGI PENDIDIKAN INDONESIADEWAN PIMPINAN CABANG SUMATERA UTARAIKATAN PENGEMBANG TEKNOLOGI PENDIDIKAN INDONESIAhttp://www.blogger.com/profile/15690844411253954621noreply@blogger.comBlogger8125tag:blogger.com,1999:blog-1063429453719024104.post-63880042118041972802012-01-05T00:38:00.000-08:002012-01-05T00:38:04.213-08:00DESAIN KURIKULUM BERBASIS BUDAYA YANG INOVATIF<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEify4x67m1K8uffARbAia0G1ITchX2h_lqSOz5nsSbYccPx6pN2Qp8BfnILaIi9BCbFdGhvfkDsOdGRmb0GzlXB69rI0oWVcDLK8A_c57i-Mpi6t3VCRuu3ZlUyhDApZfX6AsCCFQcEBNYQ/s1600/Tobing.jpg" imageanchor="1" style="clear:right; float:right; margin-left:1em; margin-bottom:1em"><img border="0" height="320" width="190" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEify4x67m1K8uffARbAia0G1ITchX2h_lqSOz5nsSbYccPx6pN2Qp8BfnILaIi9BCbFdGhvfkDsOdGRmb0GzlXB69rI0oWVcDLK8A_c57i-Mpi6t3VCRuu3ZlUyhDApZfX6AsCCFQcEBNYQ/s320/Tobing.jpg" /></a></div><br />
<b>Hotmerlan L.Tobing</b><br />
<br />
Abstrak<br />
Desain kurikulum berbasis budaya dapat dijadikan desain kurikulum alternatif untuk semakin mempercepat terwujudnya masyarakat dan bermartabat. Dengan desain kurikulum berbasis budaya diharapkan lulusan memiliki wawasan pengetahuan luas, bermartabat dan beradab sesuai nilai-nilai yang berlaku di Indonesia. Pola pelaksanaannya dapat terjadi sejak pengembangan GBPP, Silabus, atau satuan pembelajaran. Demikian pula, dapat terjadi dalam penerapan KTSP saat ini. <br />
<br />
<i>Kata Kunci : Kurikulum, Budaya, Inovatif</i>IKATAN PENGEMBANG TEKNOLOGI PENDIDIKAN INDONESIAhttp://www.blogger.com/profile/15690844411253954621noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1063429453719024104.post-47651060446159387862012-01-05T00:30:00.000-08:002012-01-05T00:30:32.400-08:00INOVASI PEMBELAJARAN MELALUI SISTEM SOSIAL<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvQjGBdMX-bf4VAC4n5Slti_ss3xzUkc-I_Lp67AiWixiCIQb0p7phpCnEToO5ecS417hHYGrBv_Y78beIpDDDKPL450eg3G_4JGttvGqLZEMgWrBp6DUte02bQO9R_KybAVRx1uTJhYVX/s1600/Evi.jpg" imageanchor="1" style="clear:right; float:right; margin-left:1em; margin-bottom:1em"><img border="0" height="320" width="202" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvQjGBdMX-bf4VAC4n5Slti_ss3xzUkc-I_Lp67AiWixiCIQb0p7phpCnEToO5ecS417hHYGrBv_Y78beIpDDDKPL450eg3G_4JGttvGqLZEMgWrBp6DUte02bQO9R_KybAVRx1uTJhYVX/s320/Evi.jpg" /></a></div><br />
Oleh : Evi Susilawati<br />
<br />
Abstrak <br />
<br />
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu: rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, mahalnya biaya pendidikan. Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa. Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.<br />
Kata Kunci : Inovasi, Pembelajaran, Sistem SosialIKATAN PENGEMBANG TEKNOLOGI PENDIDIKAN INDONESIAhttp://www.blogger.com/profile/15690844411253954621noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1063429453719024104.post-69247227830873569102012-01-05T00:23:00.000-08:002012-01-05T00:23:07.465-08:00PENERAPAN PEMBELAJARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG INOVATIF DI SMA<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiydZDQ185Qls4HvvGEz9pLh_PaXDI24_ebXIT_s8Gead8ONJWM31dnfjirP-2kVjmc0puk9fAVipihShpdVfuEP_eupiz3Qk4ENKIXJr0XAwNF1E_db45vBVU20MytW4C-2tHDxRh0kFED/s1600/265.jpg" imageanchor="1" style="clear:left; float:left;margin-right:1em; margin-bottom:1em"><img border="0" height="320" width="266" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiydZDQ185Qls4HvvGEz9pLh_PaXDI24_ebXIT_s8Gead8ONJWM31dnfjirP-2kVjmc0puk9fAVipihShpdVfuEP_eupiz3Qk4ENKIXJr0XAwNF1E_db45vBVU20MytW4C-2tHDxRh0kFED/s320/265.jpg" /></a></div><br />
Abstrak<br />
<br />
Penerapan pembelajaran lingkungan hidup di SMA difokuskan pada konsep-konsep dasar dan permasalahan lingkungan hidup. Hal ini disebabkan pertama, pembelajaran merupakan salah satu proses untuk dapat menjadikan diri seseorang lebih dewasa Kedua, proses pendewasaan berkaitan dengan perkembangan intelektual seseorang dan kesiapan yang dimiliki untuk perkembangan selanjutnya. Ketiga, proses membangun struktur kognitif dapat terwujud melalui adanya informasi, transformasi, dan penggunaan. Penerapan pembelajaran lingkungan hidup yang dikembangkan ini diharapkan dapat terbentuk generasi yang memiliki komitmen dan tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai LH, sehingga terbangun konsep pembangunan berkelanjutan.<br />
<br />
Kata Kunci : Lingkungan Hidup, SMAIKATAN PENGEMBANG TEKNOLOGI PENDIDIKAN INDONESIAhttp://www.blogger.com/profile/15690844411253954621noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1063429453719024104.post-85455816834632299432010-06-19T16:27:00.000-07:002010-06-19T16:27:37.834-07:00Langkah Sukses Membuat Karya IlmiahLangkah Sukses Membuat Karya Tulis ilmiah<br />
<br />
Akhir-akhir ini kita dibuat terperanjat oleh berita di koran Kompas, 27 Maret 2009 yang menuliskan bahwa banyak guru PNS yang sulit sekali untuk naik pangkat. Jumlahnya sangat fantastis atau bisa dikatakan cukup banyak. Para guru PNS di tingkat DIKDASMEN sulit mencapai pangkat di atas IV/A karena kemampuan mereka membuat karya Tulis Ilmiah (KTI) masih lemah padahal membuat KTI menjadi salah satu syarat kenaikan pangkat. Dari data Badan Kepegawaian Nasional (BKN) 2005, sekitar 1,4 juta guru berstatus PNS. Umumnya berada di pangkat III/A sampai III/D yang jumlahnya mencapai 996.926 guru. Adapun di golongan IV ada 336.601 guru, dengan rincian golongan IV/A sebanyak 334.184 guru, golongan IV/B berjumlah 2.318 guru, golongan IV/C sebanyak 84 guru, dan golongan IV/D ada 15 guru.<br />
<br />
Mengapa banyak guru yang kesulitan dalam membuat sebuah karya tulis ilmiah? Hal ini dikarenakan belum banyak guru yang memahami dan mengenal Penelitian Tindakan Kelas (PTK) sehingga wajar saja apabila banyak guru yang mengalami kesulitan dalam pembuatan karya tulis ilmiah. Lalu mengapa membuat karya tulis ilmiah itu dianggap sulit oleh para guru? Apa yang menyebabkan para guru tidak mampu untuk membuat karya tulis ilmiah? Bukankah PTK itu mudah karena dilakukan oleh guru iu sendiri di kelasnya? Bukankah PTK akan membuat guru menyadari akan masalah yang dihadapi anak didiknya dan mencari solusinya? Lalu langkah-langkah apa saja yang dibutuhkan guru agar sukses melaksanakan PTK?<br />
<br />
Berikut ini penulis sharing-kan beberapa langkah sukses dalam membuat karya tulis ilmiah yang penulis alami sendiri dalam membuat sebuah karya tulis ilmiah. Langkah-langkah sukses tersebut adalah sebagai berikut:<br />
<br />
1. Komitmen<br />
<br />
Teman-teman guru harus memiliki komitmen yang tinggi dalam membuat sebuah karya tulis. Jangan sampai anda dikalahkan oleh diri sendiri. Komitmen adalah suatu janji pada diri kita sendiri ataupun orang lain yang tercermin dalam tindakan kita. Harusnya, sekali kita komit, maka kita akan selalu mempertahankan janji itu sampai akhir. Setiap orang dari kecil sampai dewasa pastilah pernah membuat komitmen, meskipun terkadang komitmen itu seringkali tidak diucapkan dengan kata-kata.<br />
<br />
Guru harus bisa melawan kemalasan diri. Ketika kita memiliki komitmen yang tinggi untuk membuat sebuah karya tulis, maka keberhasilan akan ada di depan mata. Orang-orang yang sukses dalam membuat karya tulis adalah orang-orang yang memiliki komitmen dengan dirinya sendiri. Ketika ia telah berjanji dengan dirinya sendiri, maka dengan penuh kesadaran tinggi memenuhi janji yang telah diucapkannya.<br />
<br />
Janji itu dimulai dari proses perencanaan pembelajaran yang matang, pelaksanaan tindakan yang menantang, dan proses pengamatan yang cemerlang sehingga guru dapat melakukan refleksi diri secara gemilang. Semua itu harus dimulai dengan komitmen yang tinggi agar berhasil.<br />
<br />
2. Konsisten<br />
<br />
Seringkali kita tak konsisten dengan apa yang telah kita janjikan pada diri sendiri. Rutinitas kerja telah membuat kita menjadi inkonsistensi terhadap janji yang kita ucapkan. Hal inilah yang banyak terjadi pada teman-teman guru. Mereka tidak konsisten dalam membuat karya tulis. Wajar saja apabila mereka tak berhasil menyelesaikannya, karena untuk berhasil membuat sebuah karya tulis ilmiah dibutuhkan konsistensi yang terus menerus dan jangan pernah berhenti menulis. Bila ada hambatan jangan lantas langsung menyerah. Hadapi terus dan banyak bertanya kepada ahlinya. Bila kemudian kendala yang dihadapi sangat tinggi, maka anda perlu bantuan orang lain. Banyak bantuan yang bisa anda peroleh. Selain membaca buku, dan mencari teorinya lewat internet, berusahalah untuk mencari teman yang bisa anda ajak untuk berdiskusi. Dengan berdiskusi, anda akan menemukan solusi.<br />
<br />
Banyak orang beranggapan kalau konsisten itu berarti harus selalu sama, tidak boleh bervariasi atau ada kontradiksi. Konsistensi juga menunjukkan integritas kita sebagai seorang pribadi. Konsisten itu bagai pedang bermata dua, bisa ke arah positif dan sebaliknya bisa juga ke arah negatif. Sehingga sikap berhati-hati sangat penting untuk dipakai sebagai pendamping sikap konsisten. Jangan sampai sikap konsisten kita itu malah menjadikan kita lebih buruk dan tidak meningkatkan kualitas hidup kita sebagai manusia. Jangan karena khawatir dianggap tidak konsisten lalu kita takut berubah, padahal perubahan tersebut akan membawa kita kepada kebaikan.<br />
<br />
3. Kerja Keras<br />
<br />
Sebagai seorang guru yang hampir setiap semester membuat laporan karya tulis ilmiah, saya merasakan sendiri bagaimana kita harus bekerja keras dengan penuh keuletan dalam melaporkan karya tulis. Di saat orang lain mungkin tertidur lelap, penulis masih terus mengetik, menganalisis apa yang terjadi di kelas, melihat dan menilaihasilpekerjaan siswa, dan memperbaiki kekurangan yang terjadi pada saat proses pembelajaran berlangsung. Dibutuhkan semangat yang tinggi serta motivasi internal yang hebat agar karya tulis kita dapat terwujud. Kerja keras adalah gerbang utama berikutnya yang harus dikerjakan oleh mereka yang ingin sukses dalam menuliskan karya tulisnya.<br />
<br />
Dalam dunia kerja, seorang professional bukan hanya lahir karena modal kepintaran saja tetapi juga karena kerajinan dan ketekunan serta kerja keras. Orang pintar tetapi malas akan dikalahkan oleh orang yang kurang pintar tetapi rajin. Bayangkan apa jadinya bila orang pintar sekaligus rajin, tekun dan pekerja keras. Jadi fungsi dan peranan kerja keras tidak bisa diabaikan. Dalam pembuatan karya tulis ilmiah anda harus bekerja keras menyusun sebuah karya tulis yang enak dibaca dan komunikatif. Tak ada keberhasilan yang dihasilkan tanpa kerja keras. Begitu pun dalam membuat karya tulis ilmiah yang bermanfaat untuk orang lain.<br />
<br />
4. Kerja Cerdas<br />
<br />
Banyak teman-teman guru yang bertanya pada saya kenapa sulit membuat sebuah karya tulis. Rata-rata dari mereka tak pernah bekerja cerdas dalam mengaplikasikan apa yang ada dalam alam pikirannya. Waktu yang 24 jam diberikan oleh Tuhan pemilik bumi kepada kita harus dapat dimanfaatkan dengan baik. Di sinilah kita dituntut untuk berpikir dan bertindak cerdas dalam membuat sebuah karya tulis. Gunakan waktu sebaik mungkin. Bagilah waktu dengan baik. Anda sendiri yang menentukan kapan saatnya untuk menulis, dan kapan saatnya untuk berinteraksi dengan teman lainnya untuk mendapatkan masukan. Ketika kecerdasan kita dalam mengatur waktu sudah teratasi dengan baik, maka keberhasilan dalam membuat tulisan terlihat jelas di depan mata.<br />
<br />
Bekerja cerdas bukan hanya dalam perkataan tetapi menyatu dalam perbuatan nyata. Seringkali kita menghadapi kenyataan bahwa kita sulit sekali membagi waktu, belum lagi banyaknya pekerjaan yang menumpuk di depan mata. Di sinilah kita harus bekerja cerdas dengan cara sedikit demi sedikit mencicil pekerjaan kita. Jangan pernah menunda-nunda pekerjaan. Di dalam melaporkan penelitian kita pun demikian, harus di catat dalam buku agenda guru dan kemudian kita pindahkan dalam bentuk laporan penelitian. Di sinilah kita harus bekerja cerdas agar kita dapat membuat karya tulis yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Tak ada orang yang sukses menulis karya tulis tanpa kerja cerdas.<br />
<br />
5. Kerja Ikhlas<br />
<br />
Dalam membuat sebuah karya tulis yang komunikatif dibutuhkan kerja ikhlas yang tak mengharapkan imbalan apapun. Kalaupun ternyata nanti ada imbalannya itu berangkat dari kerja ikhlas kita. Bila niat kita ikhlas bahwa dari menulis ini akan memperbaiki kinerja kita sebagai guru, maka anda akan merasakan sebuah kekuatan super akan membantu anda mewujudkan ide-ide anda ke dalam bentuk tulisan. Tulisan yang berbobot adalah tulisan yang komunikatif dengan pembacanya dan memberikan pencerahan kepada siapa saja yang membacanya. Hal ini disebabkan oleh sebuah keikhlasan dari si penulis yang mampu membuat sebuah tulisan enak dibaca dan interaktif dalam mengungkapkan pendapat. Ingatlah bila kita bekerja ikhlas, maka Allah pun akan membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda.<br />
<br />
Kerja ikhlas hendaklah menjadi bagian dalam membuat sebuah karya tulis ilmiah. Ketika niat kita ikhlas karena untuk saling berbagi ilmu pengetahuan, maka akan muncul segala kemudahan yang terbentang di depan mata. Hal ini sering penulis alami ketika mengali kebuntuan dalam membuat karya tulis. Namun, karena niat penulis ikhlas, ada saja pertolongan Allah yang membuat penulis serasa mendapatkan ide-ide baru dalam menuliskan apa yang penulis pikirkan. Ingatlah, kerja ikhlas akan membantu anda dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah, karena tak ada beban yang anda alami. Ide menulispun serasa turun ke otak dengan sendirinya.<br />
<br />
6. Kerjasama/ Kolaboratif<br />
<br />
Pekerjaan yang baik dan obyektif dalam proses pembelajaran di kelas adalah bila dilakukan bersama dengan teman sejawat. Kolaboratif harus senantiasa kita lakukan agar kualitas pembelajaran kita di kelas menjadi semakin berkualitas. Kesendirian akan membuat kita menjadi orang yang egois, dan menganggap diri kitalah yang paling benar. Bila kita berkolaborasi, maka kita akan banyak mendapatkan masukan dari teman sejawat lainnya tentang apa yang telah kita lakukan.<br />
<br />
Dalam pembuatan karya tulis ilmiah, sebaiknya anda juga mendiskusikannya dengan teman sejawat. Jangan sampai anda hanya mengungkapkan pendapat pribadi anda sendiri yang sifatnya subyektif, dan cenderung menyalahkan yang lain. Tak ada yang lebih baik selain melakukan kolaboratif dengan teman sejawat. Bila anda terpaksa harus sendirian, carilah teman yang anda anggap dapat dijadikan teman untuk berdiskusi tentang masalah penelitian yang sedang anda lakukan. Kerjasama yang dibina dengan baik akan memudahkan anda dalam mengatasi kesulitan yang anda alami dalam membuat sebuah karya tulis ilmiah.<br />
<br />
Tak ada karya tulis yang baik tanpa kerjasama semua pihak. Anda bisa buktikan dari semua kata pengantar yang dibuat oleh guru yang telah berhasil membuat karya tulisnya. Di sanalah tertulis ucapan terima kasih dari orang-orang yang membantunya.<br />
<br />
7. Koneksi<br />
<br />
Tak ada orang yang sukses saat ini tanpa memiliki koneksi dengan orang lain. Dalam dunia persekolahan anda harus bisa bersinergi dengan kepala sekolah anda yang merupakan orang nomor satu di sekolah. Jangan dilupakan peran kepala sekolah. Karya tulis ilmiah yang anda buat tidak ada artinya bila belum disetujui oleh kepala sekolah. Apalagi bila karya tulis itu diajukan untuk kenaikan pangkat atau mengikuti lomba. Jadi koneksi ini sangat penting artinya bagi kita sebagai penulis sekaligus peneliti. Dalam penelitian tindakan kelas, proposal penelitian yang kita buat harus terlebih dahulu disetujui oleh kepala sekolah. Tanpa persetujuan kepala sekolah agak sulit bagi kita mewujudkannya dalam pelaksanaan penelitian.<br />
<br />
Dalam lomba-lomba karya tuis yang telah penulis ikuti, tak ada satu pun finalis lomba yang tak memiliki koneksi. Mereka bisa berhasil ke Jakarta dan menjadi finalis lomba karya tulis ilmiah karena adanya koneksi dari sekolahnya. Jadi koneksi ini sangat penting bagi guru yang akan membuat karya tulisnya. Kelihatannya koneksi ini sepele, tetapi kalau kita tak memiliki koneksi, maka karya tulis kita itu hanya masuk almari perpustakaan dan tak terpublikasikan dengan baik.<br />
<br />
8. Kemauan Kuat<br />
<br />
Dalam membuat sebuah karya tulis ilmiah dibutuhkan kemauan kuat dari diri sendiri untuk mewujudkannya. Tanpa kemauan yang kuat jangan berharap karya tulis anda berhasil dibuat. Kemauan kuat akan menjadikan karya tulis yang anda buat menjadi hidup dan lebih bermakna.<br />
<br />
Kemauan yang kuat akan membuat ada memiliki kekuatan maha dahsyat yang membuat anda merasa mudah dalam melakukan penelitian dan melaporkannya dalam bentuk karya tulis. Tanpa kemauan yang kuat jangan berharap anda berhasil dalam membuat karya tulis ilmiah yang bermanfaat untuk orang lain.<br />
<br />
Katakan pada dirimu sendiri bahwa kamu bisa melakukannya. Ketika anda berkata, ”SAYA PASTI BISA”, maka akan ada sugesti power dalam diri yang merangsang alam bawah sadar anda untuk melakukan sesuatu yang luar biasa.<br />
<br />
9. Kontekstual<br />
<br />
Karya tulis yang dibuat sebaiknya sesuai dengan keadaan nyata di lapangan atau di kelas. Tulislah sesuatu yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh siswa dan juga guru sehingga tujuan penelitian tercapai. Buatlah sebuah pengalaman nyata dalam karya tulis anda. Pengalaman nyata itu benar-benar hasil perenungan yang mendalam dari refleksi diri selama anda melakukan pembelajaran.<br />
<br />
Banyak teman-teman guru yang menuliskan pengalamannya itu dalam bentuk laporan penelitian tindakan kelas. Isinya sangat bagus dan membuat siapa saja yang membacanya merasa mendapatkan pencerahan. Apa yang dituliskan memang benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata kita sehari-hari, dan mereka telah berhasil mencari solusinya. Apayang diteliti hendaknya bersinggungan dengan dunia nyata guru dan siswa dan bermanfaat bagi sekolah.<br />
<br />
10. Kredibel<br />
<br />
Karya tulis yang dibuat sebaiknya karya tulis yang benar-benar dibuat sendiri, sehingga tingkat kepercayaannya sangat tinggi. Karya tulis itu harus kredibel di mata sesama teman sejawat dan juga diketahui oleh kepala sekolah. Bila teman sejawat dan kepala sekolah telah mempercayai, maka anda bisa mempublikasikannya dalam forum MGMP atau tingkat yang lebih luas lagi. Ketika karya tulis yang dibuat kredibel, maka kepala sekolah dan juga kepala dinas pendidikan setempat akan dengan senang hati menyetujui dan menandatangani karya tulis ilmiah anda.<br />
<br />
Agar karya tulis itu lebih kredibel, sebaiknya lakukanlah diskusi ilmiah guru di sekolah. Kenapa karya tulis ilmiah guru kurang kredibel? Karena budaya ilmiah tidak terbina dengan baik. Teman-teman guru yang tidak terbiasa meneliti menjadi lebih sulit melaporkan hasil karya tulisnya, sehingga terjadi plagiarisme karya tulis yang merupakan jiplakan dari karya tulis orang lain atau karya tulis itu dibuatkan oleh orang lain sehingga hasilnya kurang kredibel.<br />
<br />
11. Kerja Tuntas/ Ketuntasan<br />
<br />
Karya tulis yang anda buat jangan di nanti-nanti dan jangan di tunda-tunda. Segera tuntaskan sampai selesai sesuai dengan jadwal yang anda rencanakan dalam proposal penelitian. Permaslahan yang dihadapi oleh para guru dewasa ini adalah banyak sekali guru yang tak menuntaskan tugas yang diembannya. Apalagi banyak guru yang tidak tuntas dalam melaporkan hasil penelitiannya.<br />
<br />
Selain kerja keras, kerja ikhlas, dan kerja cerdas, dibutuhkan juga kerja tuntas agar apa yang kita tuliskan benar-benar holistik. Kita tak menilai siswa dari satu sisi saja, tetapi kita menilai mereka dari semua sisi dan dari sudut pandang yang berbeda. Ketika kerja tuntas telah kita lakukan, maka kesuksesan kita dalam membuat sebuah karya tulis ada di depan mata. Biasakanlah selalu bekerja tuntas.<br />
<br />
12. Kejujuran<br />
<br />
Hendaknya karya tulis yang dituliskan harus dilandasi dengan kejujuran. Jangan memasukkan data yang tak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Peneliti harus jujur menyampaikan data temuannya. Kejujuran harus menjadi panglima kita dalam membuat karya tulis ilmiah.<br />
<br />
Sebagai guru anda harus satu kata antara perkataan dan perbuatan. Jangan sampai apa yang anda tuliskan, ternyata dalam kenyataannya tidak anda lakukan. Janganlah membuat sebuah karya tulis ilmiah dari laporan penelitian tindakan kelas yang bukan berasal dari apa yang anda lakukan sehari-hari. Anda harus jujur dalam membuat sebuah karya tulis. Ketika tulisan anda dilandasi dengan kejujuran, maka pintu gerbang kesuksesan dalam membuat karya tulis ilmiah akan terbuka lebar-lebar.<br />
<br />
13. Ketelitian/kecermatan<br />
<br />
Membuat sebuah karya tulis ilmiah dibutuhkan ketelitian dalam membuatnya, karena itu seorang guru harus teliti dalam membuat karya tulisnya. Tanpa ketelitian yang tinggi, jangan harap karya tulis anda berhasil dibuat dengan baik. Dalam sebuah penelitian, faktor ketelitian sangatlah penting, karena disinilah proses analisis data diperoleh. Oleh sebab itu di setiap laporan PTK ada satu bab yang khusus menuliskan hasil penelitian kita. Di sinilah ketelitan kita dalam meneliti akan teruji. Baik segi keabsahan data, validitas hasil penelitian, dan analisis data.<br />
<br />
14. Kesabaran<br />
<br />
Kesabaran akan membuahkan keindahan. Dalam membuat sebuah karya tulis ilmiah dibutuhkan kesabaran. Baik dalam pembuatan proposalnya, prosesnya dan pelaporannya. Tanpa kesabaran yang tinggi karya tulis anda akan menjadi sebuah laporan yang terkesan tergesa-gesa.<br />
<br />
Karya tulis yang baik adalah karya tulis yang runut metodologinya, enak bahasanya, dan dilengkapi dengan kajian pustaka yang tidak asal comot. Semua itu dilakukan dengan penuh kesabaran dan ketelatenan dalam menyatukannya ke dalam bentuk karya tulis ilmiah.<br />
<br />
15. Kreativitas<br />
<br />
Kreativitas adalah sesuatu yang baru atau sesuatu yang lebih baru. Guru dituntut kreatif dalam membuat karya tulisnya sendiri. Perlu kreativitas yang tinggi dalam membuat sebuah karya tulis ilmiah yang memikat hati. Guru harus lebih kreatif dalam membuat karya tulisnya sendiri. Bukan sekedar menggunakan metode ATM (Amati Tiru Modifikasi), tetapi lebih dari itu. Jangan sampai apa yang dituliskan ternyata telah diteliti pula oleh guru lainnya. Boleh saja masalahnya sama, tetapi harus dibuat dalam gaya tulisan berbeda.<br />
<br />
Berdasarkan pengalaman penulis mengikuti berbagai lomba, khususnya lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran tingkat nasional di tahun 2008, karya tulis yang dibuat oleh teman-teman guru adalah karya tulis yang memiliki kreativitas yang tinggi. Hal ini penulis peroleh dari judul-judul meraka yang sangat berbeda dari judul-judul karya tulis yang pernah penulis lihat dari karya tulis guru lainnya. Mereka pun mampu untuk membuat media pembelajaran yang sangat kreatif sekali.<br />
<br />
16. Kondusif/ keadaan yang baik<br />
<br />
Karya tulis yang dibuat oleh guru harus menunjukkan suasana yang kondusif dalam melakukan tindakan perbaikannya. Ketika suasana kondusif terpenuhi, maka guru akan dengan mudah melakukan penelitiannya. Ketika penelitiannya telah selesai dalam suasana yang kondusif, maka pelaporannya pun akan dengan mudah diselesaikan dengan baik oleh guru yang bersangkutan.<br />
<br />
Penulis merasakan sendiri, bila suasana sekolah kondusif, kita akan dengan mudah melakukan penelitian kita dan melaporkannya dalam bentuk karya tulis ilmiah. Lalu bagaimana bila ternyata suasana sekolah tidak kondusif? Kita sendirilah sebagi guru yang harus merubah keadaan ini. Guru harus menjadi motivator dalam lingkungannya sendiri. Guru harus pantang menyerah dalam keadaan apapun.<br />
<br />
17. Keragaman<br />
<br />
Karya tulis yang anda buat disarankan beragam. Sistematika penulisan laporan PTK boleh seragam, tetapi penyampaian laporan dan isinya disarankan seragam. Keragaman sangat diperlukan dalam mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan baru dalam bidang pendidikan. Semakin banyak guru yang membuat karya tulis ilmiahnya, maka semakin beragam pula khasanah ilmu pendidikan yang akan kita dapatkan.<br />
<br />
Kurikulum lama telah mengajarkan pada kita untuk senantiasa seragam dalam pembelajaran, sedangkan dalam KTSP kita dituntut untuk menciptakan sendiri pembelajaran kita yang sesuai dengan SK (Standar Kompetensi) dan KD (Kompetensi Dasar). Di sinilah akan terlihat keragaman kita dalam membuat sebuah pembelajaran. Paradigma baru dalam pembelajaran guru tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Siswa bukanlah obyek pembelajaran. Guru dan siswa sama-sama belajar sehingga melahirkan keragaman yang sesuai dengan daerahnya masing-masing. Seperti apa kata pepatah. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.<br />
<br />
18. Konten kreatif<br />
<br />
Banyak kita temui karya tulis ilmiah yang dibuat oleh guru kurang kreatif. Apa yang dituliskan rata-rata hampir sama dengan karya tulis yang dibuat oleh guru lainnya. Perlu perjuangan dari para guru untuk membuat sebuah konten yang kreatif hasil karyanya sendiri. Melihat hasil karya tulis orang lain memang diperbolehkan sebagai bahan perbandingan, tetapi karya tulis yang anda hasilkan haruslah karya tulis yang benar-benar tulisan anda sendiri yang kreatif. Tulisan kreatif, biasanya lebih enak dibaca dan lebih mengena kepada masalah pendidikan yang dituliskannya.<br />
<br />
Dalam kesempatan yang diberikan oleh panitia seminar maupun worskhop di timgkat nasional tentang PTK, penulis banyak menjumpai teman-teman guru yang kesulitan dalam menuliskan apa yang telah mereka kerjakan. Mereka sulit sekali menulis walaupun hanya satu alinea saja. Tetapi ketika penulis pancing dalam berbagai pertanyaan, maka keluarlah semua pengalaman guru dari dalam mulutnya. Ternyata banyak guru yang baru pandai bicara saja, tetapi ketika menuliskannya banyak yang belum berhasil. Untuk bisa menuliskannya diperlukan latihan terus menerus tiada henti. Dari latihan menulis inilah akan anda temui sebuah konten yang kreatif karena anda telah terbiasa untuk menulis.<br />
<br />
19. Keaslian<br />
<br />
Karya tulis ilmiah yang dibuat oleh guru harus orisinil, dan dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. Ketika keaslian telah menyatu dalam karya tulis yang dibuat oleh guru, maka orang lain yang membacanya menjadi tergugah. Apalagi bila apa yang dituliskan merupakan sesuatu yang baru dalam dunia pendidikan, tentu saja akan menjadi menarik dan membuat para guru lainnya mendapatkan manfaat dari apa yang anda tuliskan.Keaslian merupakan sesuatu yang tinggi dalam penilaian tim penilai karya tulis ilmiah.<br />
<br />
Karya tulis ilmiah yang asli adalah karya tulis yang dibuat oleh seorang guru yang memang kreatif dalam mengembangkan potensi unik siswa. Potensi unik siswa akan dengan mudah dikembangkan apabila guru mampu memahami apa yang dibutuhkan oleh para siswanya dalam proses pembelajaran. Di sanalah akan terlihat keaslian dari sebuah karya tulis ilmiah.<br />
<br />
20. Komunikatif<br />
<br />
Banyak karya tulis ilmiah yang dibuat oleh guru tidak komunikatif. Ingatlah bahwa seorang guru membuat sebuah karya tulis ilmiah untuk dibaca oleh guru lainnya atau untuk orang lain yang menginginkan pengetahuan yang dituliskan olehnya. Sehingga bahasa yang digunakan haruslah komunikatif. Ketika bahasa yang digunakan adalah bahasa ilmiah populer yang komunikatif, maka karya tulisnya akan dengan mudah dicerna dan bermanfaat untuk orang banyak.<br />
<br />
Ingatlah bahwa apa yang akan kita tuliskan itu akan dibaca oleh orang lain. Usahakanlah menggunakan bahasa yang komunikatif, sehingga mereka memahami apa yang anda tuliskan. Bila bahasa dalam tulisan anda komunikatif, maka para pembaca pun akan menyukai tulisan anda dan meresakan manfaat dari apa yang anda tuliskan.<br />
<br />
Demikianlah beberapa langkah sukses dalam membuat karya tulis ilmiah yang saya jabarkan berdasarkan pengalaman saya sebagai guru. Semoga apa yang saya tuliskan ini bermanfaat untuk teman-teman guru yang akan meneliti dan melaporkan hasil PTKnya. PTK yang baik dilakukan dari melihat, membaca, menulis, meneliti, dan melaporkan. Semoga anda bisa memahaminya.<br />
<br />
Wijaya Kusumah, Guru SMP Labschool Jakarta<br />
<br />
Penulis Buku Best Seller Mengenal Penelitian Tindakan Kelas<br />
<br />
Email: wijayalabs@gmail.com, blog: http://wijayalabs.com<br />
<br />
Sumber : http://iptpi.net/#/?p=104#more-104IKATAN PENGEMBANG TEKNOLOGI PENDIDIKAN INDONESIAhttp://www.blogger.com/profile/15690844411253954621noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1063429453719024104.post-88197750212768166052010-04-07T01:26:00.000-07:002010-04-07T01:26:22.125-07:00International ConfrenceNumber : 130 /DPP-IPTPI/X/10 Jakarta, 27th of January 2010<br />
Attach. : -<br />
<br />
<br />
<br />
To:<br />
President of IPTPI and APPJJI <br />
Jakarta<br />
<br />
Att: Request Panelist from IPTPI and APPJJI for International Seminar <br />
On 17th-18th of May 2010<br />
<br />
<br />
<br />
We firstly send you our warmest regards, and may your health be in best conditions ever. Amen.<br />
<br />
Secondly, it is a pleasure to share with you our last successful IPTPI (IKATAN PENGEMBANG TEKNOLOGI PENDIDIKAN INDONESIA) National Seminar on 18th-19th of 2009 at Auditorium of Directorat of Higher Education, Ministry of Education and National and our one-day Workshops at SEAMOLEC, Pustekkom, Universitas Terbuka and in Kebayoran LabSchool. It delights the Minister of National Education, Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh, who gave the Opening Speech as it is also highly appreciated by Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D., then Director General of Higher Education.<br />
<br />
Relating to the experience, we certainly need to deepen and widen our experiences, at least regionally and internationally speaking. Therefore, we are honored to informed you that we are planning to conduct International Seminar on 17th-18th of May 2010 featuring the theme Integrating Technology into Education and conducted in collaboration with APPJJI (Indonesian Professional Association of Distance Education) and supported by 5 universities (Universitas Negeri Jakarta, Universitas Terbuka, Universitas Widyatama, Universitas Bina Nusantara, Open University Malaysia), SEAMOLEC and Pustekkom. <br />
<br />
We believe that the state of the arts of educational technology in Indonesia is currently more like a movement albeit prestigious one rather than an established field fully understood both by its professionals and its clients. Therefore, a concerted effort to support it is in dire needs. Integrating technology into education is, we hope, a kind of exploration to full together all elements of professionals and clients in aiming at a certain agreements as to where we should develop from our current situations. It is anticipated that the Seminar will be attended by about 350 participants from all over the world. The Seminar will be held on 17th-18th of May 2010 at Auditorium of Directorat of Higher Education, Ministry of Education. <br />
<br />
In the Seminar, the Minister of Education is expected to be available for the Opening Speech. Keynote speakers from all over the world will be invited to participate in the Seminar. Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D., Vice Minister of Indonesian, National Education, Prof. Dr. J. Michael Spector, University of Georgia and President of Association for Educational Communications and Informations (AECT) as well as Thomas Luschei, Ph.D. from Florida State University has confirmed their availability as keynote speakers in the Seminar. Several other noted figures abroad and in Indonesia would also participate in the Seminar as keynote speakers and panelists. Thus, not least in importances is that we would be very grateful if you would be assign panelists discussing any of sub themes as follows.<br />
1. LRC (Learning Resource Center), Distance Education and Educational Technology<br />
2. CPD (Continous Professional Development) and Educational Technology <br />
3. Teacher’s professional education and Educational Technology <br />
<br />
Other acceptable abstracts and papers discussing the other sub-themes will be presented on the Seminar only if there are spare time. Otherwise, the abstracts and the papers will be published in Jurnal Teknologi Pendidikan that soon will be launched or in Jurnal Pendidikan Jarak Jauh. <br />
<br />
Should you need more detailed information, comments, or inquiry on the Seminar, please feel free to contact the secretariats or us at 62-21-7490941 ext. 2461, E-mail: dodi6187@gmail.com or atwi@mail.ut.ac.id.<br />
<br />
We are looking forward to your favorable participation and contributions. Thank you for your attentions.<br />
<br />
<br />
PENGURUS PUSAT<br />
IKATAN PENGEMBANG TEKNOLOGI PENDIDIKAN INDONESIA (IPTPI)<br />
<br />
<br />
President, Secretary I,<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Prof. Dr. Atwi Suparman. Dr. Dodi Sukmayadi.IKATAN PENGEMBANG TEKNOLOGI PENDIDIKAN INDONESIAhttp://www.blogger.com/profile/15690844411253954621noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1063429453719024104.post-67416152184253467622010-02-23T22:19:00.000-08:002010-02-23T22:19:47.982-08:00Pembelajaran Alternatif Masyarakat Perkebunan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcF_xw-wQuU68F-Rwy06lo4_GqfiUjD27CkKmQY7EDX5MhPNGcRMv8xdZn8UaZwBlmjCCBvPeungcyX3d4hRQtrJ7LDjAlTBniXKsbk9Qohb7v5VHO41Y87tJ6_30_uiNF3UHUipx8EupI/s1600-h/DSC_0177.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" ct="true" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcF_xw-wQuU68F-Rwy06lo4_GqfiUjD27CkKmQY7EDX5MhPNGcRMv8xdZn8UaZwBlmjCCBvPeungcyX3d4hRQtrJ7LDjAlTBniXKsbk9Qohb7v5VHO41Y87tJ6_30_uiNF3UHUipx8EupI/s320/DSC_0177.JPG" /></a></div><br />
<strong>DESAIN PEMBELAJARAN ALTERNATIF PADA MASYARAKAT PERKEBUNAN</strong><br />
<br />
<strong>Prof. Dr. Harun Sitompul, M.Pd</strong><br />
<br />
A. Pendahuluan<br />
<br />
Salah satu tuntutan reformasi di bidang pendidikan adalah diberi peluang, bahkan dalam batas tertentu diberi kebebasan, kepada keluarga dan masyasakat untuk menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan minat dan kebutuhan warga belajar, serta sesuai dengan kondisi dan tuntutan lapangan kerja. Dalam rangka mencapai masyarakat belajar (learning society) perlu diberikan kebebasan kepada warga masyarakat untuk belajar apa saja yang diminati atau dibutuhkannya, asalkan tidak bertentangan dengan falsafah negara dan bangsa. <br />
<br />
Dewasa ini banyak sorotan masyarakat menyatakan bahwa pendidikan tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Program-program pembelajaran yang ada dianggap masih belum memadai kualitasnya sehingga anak didik tidak dapat belajar dengan baik karena tidak dapat menangkap apa yang diajarkan guru di sekolah. Hal ini perlu mendapat perhatian dari mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan, mengingat belajar merupakan proses yang sangat penting dalam menghadapi tantangan-tantangan di masyarakat. Apalagi saat ini terjadi perkembangan pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, para guru perlu mengetahui lebih banyak tentang cara mendesain dan mengembangkan program pembelajaran, agar proses belajar siswa dapat lebih efektif, efisien, dan menarik..<br />
<br />
Alasan mengapa guru perlu mengetahui lebih banyak tentang cara mendesain dan mengembangkan pembelajaran, adalah karena selain kebutuhan intelektual, siswa juga memiliki kebutuhan-kebutuhan kependidikan lain. Dengan mendesain dan mengembangkan suatu program pembelajaran yang lebih efektif guru diharapkan akan dapat mempunyai waktu lebih banyak untuk nembantu siswa dalam perkembangan sosial, psikologi, dan emosionalnya. Guru akan dapat mencurahkan lebih banyak perhatiannya dalam mendampingi siswa demi perkembangannya sebagai individu yang utuh. Hal ini akan mungkin terjadi bila guru dapat merancang dan mengembangkan pembelajatan yang lebih efektif, efisien, dan menarik.<br />
<br />
Kebutuhan akan program pembelajaran yang baik tidak hanya dirasakan di lingkungan pendidikan formal atau sekolah saja, tetapi juga seperti di bidang pendidikan non formal, pendidikan informal bagi segenap lapisan masyarakat . Dengan adanya program pembelajaran yang telah dirancang dan dikembangkan sesuai kebutuhan dengan baik, maka perubahan-perubahan yang cepat dalam masyarakat yang disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan akan dapat ditanggulangi. Kebutuhan pembelajaran perlu disesuaikan dengan kondisi lingkungan alam, sosial, ekonomi, budaya dan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan daerah yang perlu dipelajari oleh siswa di daerah tersebut.<br />
<br />
Mendesain pembelajaran merupakan kegiatan merumuskan tujuan apa yang ingin dicapai dari suatu kegiatan pembelajaran, cara apa yang digunakan untuk menilai pencapaian tujuan itu, materi atau bahan apa yang akan disampaikan, bagaimana cara menyampaikan bahan, serta media atau alat apa yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran tersebut. Desain pembelajaran dijabarkan dari hal yang paling umum kepada yang paling khusus dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran. <br />
<br />
Fungsi desain pembelajaran adalah agar guru lebih siap dalam melaksanakan proses pembelajaran. Seorang guru yang baik, akan senantiasa mengadakan persiapan perencanaan terlebih dahulu, baik itu persiapan perencanaan yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Komonen-komponen yang harus dipertimbangkan dalam mendesain pembelajaran adalah tujuan, materi/bahan, strategi/metode dan media, dan evaluasi.<br />
<br />
Dalam mendesain pembelajaran, selain memperhatikan hal-hal tersebut guru juga harus memperhatikan kebutuhahn siswa juga perkembangan intelektual dan emosional (psikologi) siswa. Desain pembelajaran harus disusun secara sistematis dengan beberapa kemungkinan situasional, sehingga desain pembelajaran dapat berfungsi untuk mengefektifkan proses pembelajaran yang sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.<br />
<br />
Beberapa karakteristik perlu dipertimbangkan dalam menyusun desain pembelajaran, yaitu seperti: (1) ditujukan kepada kebutuhan siswa, (2) memiliki tahap-tahap, (3) sistematis, (4) pendekatan sistem, (5) didasarkan pada proses belajar manusia. Dalam suatu desain pembelajaran haruslah menunjukkan sebuah wujud keseluruhan dari suatu obyek penelaahan di mana unsur dari obyek tersebut berhubungan satu sama lain dalam satu jalinan yang teratur. Dalam konteks pebelajaran ini disebut suatu sistem pembelajaran yang memiliki komponen-komponen, yaitu pesan, orang, peralatan, teknik, latar atau lingkungan (AECT, 1986). <br />
<br />
<br />
<br />
B. Masyarakat Perkebunan<br />
<br />
Sebagaimana yang diamanatkan undang-undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan, bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkeadilan, maka perkebunan perlu dijamin keberlanjutannya serta ditingkatkan fungsi dan peranannya. Karenanya penyelenggaraan perkebunan perlu dilakukan secara terencana, terbuka, terpadu, profesional, dan bertanggung jawab yang disesuaikan dengan perkembangan lingkungan yang strategis. <br />
<br />
Luas areal perkebunan di Sumatera utara berkisar 9,44% dari seluruh luas areal perkebunan dimiliki Indonesia (17.181.000 Ha), yang penyelenggaranya oleh perkebunan rakyat, perkebunan swasta, dan perkebunan negara. Potensi komoditi adalah karet, kelapa sawit, kakao, kopi, kelapa, dan tebu. Komoditi utamanya adalah kelapa sawit, karet, dan kopi. Pembangunan perkebunan yang dilaksanakan telah menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat Sumatera utara, sampai saat tahun 2002 mencapai 4.405.950 KK yang bekerja pada budidaya tanaman perkebunan. Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja selam lima tahun (1998-2002) mengalami peningkatan rata-rata 0,65% pertahun (Renstra tahun 2005-2010)<br />
<br />
Di masyarakat perkebunan berkumpul berbagai etnis pada satu lingkungan yang sama dan berinteraksi dalam jangka waku yang lama, menyebabkan terjadinya interfrensi budaya. Interaksi yang terus menerus dan intens antar individu antar etnis akan menyebabkan terjadinya perubahan struktur, perilaku, sikap dan watak sebagai hasil dari komunikasi dan saling mempengaruhi di antara individu maupun kelompok. Artinya secara tidak langsung telah terjadi akulturasi budaya antar etnis dan adat istiadat yang bertemu pada satu pemukiman tersebut. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan ketika memasuki pemukiman masyarakat perkebunan akan ditemui suatu masyarakat yang unik. Masyarakat yang terbentuk melalui proses pembauran antar budaya yang datang. Di sana ditemui adanya penyimpangan dari stereotype yang ditetapkan oleh masyarakat pada etnis tertentu. Dengan demikian secara tidak langsung perkebunan telah membentuk suatu masyarakat dengan budaya baru dalam kerangka budaya nasional.<br />
<br />
Lain halnya pada sisi kesejahteraan buruh sebagai tenaga upahan yang seyogyanya meningkat seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi akibat industrialisasi, malah mengalami keterpurukan yang menjadi-jadi. Makin jauh letak peru-sahaan/perkebunan dari pusat-pusat kota ketika itu, makin kecil pula upah yang didapat oleh buruh. Kebebasan pengusaha dalam menentukan upah, aturan-aturan diskriminasi yang tidak berpihak pada buruh, keterbelakangan kondisi sosial masyarakat di pedesaan, membuat para pengusaha sanggup melakukan apapun untuk melipatgandakan keuntungan produksinya tanpa memperhatikan kesejahteraan buruh-buruhnya (Asep,2009). Kondisi di masa kolonial ternyata tidak mengalami perubahan yang signifikan bagi buruh-buruh khususnya di perkebunan untuk mendapatkan kesejahteraan yang cukup. Kondisi itu tercermin dengan “tidak berlakunya” penetapan nilai UMK/Kabupaten dengan pemberlakuan upah yang dikehendaki sepihak oleh pengusaha perkebunan dengan upah harian yang sangat jauh dari pemenuhan kebutuhan hidup layak kondisi masyarakat perkebunan teh di Jabar). Dengan keterbatasan upah yang diperoleh orang tua, maka anak-anak hanya mampu sekolah hingga tingkat SLTP atau bahkan hanya lulusan madrasah di lingkungannya, karena jarak dan biaya yang harus dikeluarkan untuk menyekolahkan anak-anak terlampau tinggi. Sekolah yang jauh, sarana transportasi yang terbatas dan mahal, membuat para buruh mengurungkan niatnya untuk menyekolahkan anak-anaknya.<br />
<br />
Kondisi sosial masyarakat yang menjadi budaya turun-temurun itu dirancang, diciptakan pemilik kebun dari zaman kolonial Hindia Belanda, agar para buruh tidak mengalami kemajuan berpikir dengan tidak menyediakan sekolah rakyat yang dapat terjangkau, sehingga para buruh tidak dapat keluar dari lingkungan sosial di “kavling para buruh” dan dari lingkup kerjanya dari generasi ke generasi.Bertahun-tahun lamanya buruh-buruh perkebunan secara turun-temurun, disadari maupun tidak, tengah mengalami keterasingan dalam tingkat pendidikan, kultur sosial, ekonomi dan politik bahkan kesadaran akan ketertindasan yang tengah dialami. Pengusaha perkebunan tetap menggunakan kaki-tangannya untuk mengkontrol gerak dan “efektifitas kerja” para buruhnya. Dengan mandor-mandor kebun sebagai centeng yang mengatur dan mengawasi kerja secara langsung, bahkan aparatur desa seperti lurah yang dengan banyak kasus-kasus di perkebunan menjadi “alat kontrol gerak sosial masyarakat” yang me-nguatkan, meyakinkan kepada masyarakat atas kehendak yang diinginkan pengusaha. Demikian juga kehadiran premanisme di lingkungan tempat tinggal mereka untuk mengebiri benih-benih revolusioner buruh perkebunan yang hendak tumbuh. <br />
<br />
Untuk mewujudkan amanat UU no. 18 tahun 2004 dibutuhkan pengembangan SDM dengan pendekatan partisipatif sehingga orientasi tugas dan fungsi SDM mengarah pada pelayanan, pendampingan, fasilitasi, dan advokasi. Mengembangkan kemampuan dan kesiapan pelayanan melalui penumbuhan perilaku pelayanan dan kesiapan berbagai data dan informasi perkebunan. Mengembangkan sikap prakarsa proaktif kepada petani-pekebun, pelaku usaha subsektor perkebunan terkait untuk mendukung pelayanan penyelenggaraan kegiatan usaha budidaya perkebunan. Di sisi lain perlu pengembangan kompetensi masyarakat di Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN) melalui penyiapan SDM khususnya petani-pekebun sebagai pelaku usaha utama di wilayah tersebut. Peningkatan kompetensi petani-pekebun menyangkut pengetahuan keterampilan dan sikap daaiharapkan akan dapat merubah perilaku petani-pekebun dari semula berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pokok menjadi berorientasi bisnis dan berorganisasi dalam bentuk kerjasama/koperasi ataupun sebagai pemilik usaha. Peningkatan kompetensi ini juga dimaksudkan untuk memperkuat posisi petani/koperasi guna melaksanakan kegiatan usaha bersama melalui perusahan patungan, kerjasama dengan perusahaan pengelola ataupun bentuk kerjasama lainnya.<br />
<br />
Pentingnya SDM memiliki kompetensi yang baik untuk mengisi pembangunan sektor perkebunan, tentu saja memerlukan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas untuk mengembangkan SDM yang sesuai dengan kebutuhan sektor perkebunan itu. Pelaksanaan pendidikan dimaksud dapat menggunakan kurikulum berbasis masyarakat perkebunan. Dengan kurikulum itu akan dapat: (1) memperkenalkan peserta didik terhadap lingkungannya, ikut melestarikan budaya termasuk karajinan, keterampilan yang nilai ekonominya tinggi di daerah tersebut, (2) membekali kemampuan dan keterampilan yang dapat menjadi bekal hidup mereka di masyarakat, seandainya mereka tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan (3) membekali agar bisa hidup mandiri, serta dapat membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Sa’ud, 2008).<br />
<br />
Kurikulum berbasis masyarakat memiliki beberapa keunggulan antara lain: Pertama, kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat setempat. Kedua, kurikulum sesuai dengan tingkat dan kemampuan sekolah, baik kemampuan finansial, profesional maupun manajerial. Ketiga, disusun oleh guru-guru sendiri dengan demikian sangat memudahkan dalam pelaksanaannya. Keempat, ada motivasi khusus kepala sekolah dan guru kelas untuk mengembangkan diri, mencari dan menciptakan kurikulum yang sebaik-baiknya, dengan demikian akan terjadi semacam kompetisi dalam pengembangan kurikulum. Dengan keunggulan tersebut, pendidikan akan dapat berperan mengubah manusia beban menjadi manusia produktif, dapat menyiapkan peserta didiknya segera memasuki dunia kerja, sehingga setidaknya mampu menghidupi dirinya, bukan menambah jumlah pengangguran.<br />
<br />
<br />
<br />
C. Sekilas Pendidikan Alternatif <br />
<br />
Pendidikan baik formal, nonformal maupun informal menjadi merupakan faktor penentu yang dapat membantu perkembangan kesadaran dan kemajuan berpikir masyarakat. Karena dengan kesadaran itulah manusia akan belajar, memilah-milah baik dan buruknya suatu hal dan memacu manusia itu untuk meraih kesejahteraannya.<br />
<br />
Istilah pendidikan alternatif merupakan istilah generik dari berbagai program atau cara pemberdayaan peserta didik yang dilakukan berbeda dengan cara tradisional. Secara umum pendidikan alternatif memiliki persamaan, yaitu: pendekatannya berisfat individual, memberi perhatian besar kepada peserta didik, orang tua/keluarga, dan pendidik serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman. Menurut Jery Mintz dalam Miarso (2004) pendidikan alternatif dapat dikategorikan dalam empat bentuk pengorganisasian, yaitu: (1) sekolah publik pilihan (public choice); (2) sekolah/lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah (student at risk); (3) sekolah/lembaga pendidikan swasta/independent; dan (4) pendidikan di rumah (home-based schooling).<br />
<br />
Sekolah publik pilihan adalah lembaga pendidikan dengan biaya negara (dalam pengertian sehari-hari disebut sekolah negeri yang menyelenggarakan program belajar dan pembelajaran yang berbeda dengan program reguler/konvensional, namun mengikuti sejumlah aturan baku yang telah ditentukan. Contohnya adalah sekolah terbuka/korespondeni (jarak jauh); misalnya SMP Terbuka, proses belajar pembelajaran menerapkan konsep belajar mandiri, belajar kelompok sebaya, belajar kooperatif, tutorial, serta pada waktu tempat yang sesuai dengan kondisi dan situasi peserta didik.Sekolah terbuka diselenggarakan untuk memberi kesempatan kepada anak-anak yang karena mengalami hambatan fisik, sosio-ekonomi, dan geografi tidak dapat mengikuti sekolah reguler. Contoh lain adalah sekolah yang disebut sekolah magnet ( magnet school) atau sekolah bibit (seed school). Disebut sekolah magnet karena sekolah ini menawarkan program unggulan seperti dalam hal olahraga, atau seni. Disebut sekolah bibit karena program pendidikan yang diselenggarakan menghasilkan siswa-siswa yang mempunyai keunggulan dalam program yang ditekuni.<br />
<br />
Sekolah atau lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah; pengertian “siswa bermasalah” di sini meliputi mereka yang: (a) tinggal kelas karena lambat belajar; (b) nakal atau mengganggu lingkungan (termasuk lembaga permasyarakatan anak); (c) korban penyalahgunaan narkoba; (d) korban trauma dalam keluarga karena perceraian orang tua, ekonomi, etnis/budaya (termasuk bagi anak suku terasing dan anak jalanan dan gelandangan); (e) putus sekolah karena berbagai sebab; (f) belum pernah mengikuti program sebelumnya. Namun tidak termasuk di dalamnya sekolah luar biasa yang dibangun untuk penyandang kelainan fisik dan/atau kelainan mental seperti tunarungu, tunanetra, tunadaksa, tunawicara, dan sebagainya. Siswa yang bermasalah memerlukan program pendidikan yang bersifat fungsional bagi kehidupan mereka di masyarakat, dan bobotnya dinilai oleh masyarakat.<br />
<br />
Sekolah atau lembaga pendidikan swasta; mempunyai jenis, bentuk dan program yang sangat beragam, termasuk di dalamnya program pendidikan bercirikan agama seperti pesantren & sekolah minggu; lembaga pendidikan bercirikan keterampilan<br />
<br />
fungsional seperti kursus atau magang; lembaga pendidikan dengan program perawatan atau pendidikan usia dini seperti penitipan anak, kelompok bermain dan taman kanak-kanak. Sekolah atau lembaga pendidikan swasta ini jauh lebih luwes dalam pengelolaan dan penentuan programnya disbanding dengan pendidikan publik, karena biasanya mengikuti perkembangan pasar atau permintaan.<br />
<br />
Pendidikan di dirumah (Homeschooling/home education/home based learning) atau sekolah mandiri; adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh keluarga sendiri terhadap anggota keluarganya yang masih dalam usia sekolah. Pendidikan ini diselenggarakan sendiri oleh orangtua/keluarga dengan berbagai pertimbangan, seperti: menjaga anak-anak dari kontaminasi aliran atau falsafah hidup yang bertentangan dengan tradisi keluarga (misalnya pendidikan yang diberikan keluarga yang menganut fundalisme agama atau kepercayaan tertentu); menjaga anak-anak agar selamat/aman dari pengaruh negatif lingkungan; menyelamatkan anak-anak secara fisik maupun mental dari kelompok sebayanya; menghemat biaya pendidikan; dan berbagai alasan lainnya.<br />
<br />
Selain pendidikan alternatif yang dijelaskan sebelumnya, dewasa ini sedang berjalan atau tumbuh sekolah PLK (Pendidikan Layanan Khusus) yang menjadi terobosan dalam bidang pelayanan pendidikan bagi anak-anak termarjinalkan. Sekolah ini tidak hanya mengajarkan ilmu tetapi juga kompetensi yang berguna bagi bekal hidup ana-anak. Anak-anak di bawah usia 18 tahun yang belum sekolah atau putus sekolah dapat belajar melalui PLK. Seperti di PLK Lentera Bangsa yang berlokasi di perkampungan nelayan Kampung Baru Muara Angke Kec Penjaringan Jakarta Utara menampung siswa usia sekolah setingkat SD, SMP, dan SMA yang kebanyakan karena putus sekolah atau terhimpit ekonomi, bahkan ada pula yang tidak pernah sekolah. Anak-anak yang bersekolah ini bersal dari orang tua yang bekerja sebagai nelayan, buruh penjual ikan, buruh bongkar muat, ataupun kuli panggul. Mereka sekolah gratis, tanpa dipungut biaya apapun, sehingga anak-anak dan orang tua sangat gembira dengan sekolah PLK ini. <br />
<br />
Ketika kita mencoba mencerminkan hal tersebut pada kenyataan saudara-saudara kita di perkebunan, apa yang dapat kita lakukan? Adalah sebuah kebutuhan, solidaritas, bahkan kewajiban kita khususnya pemerhati pendidikan dan peranan suatu organisasi buruh progresif yang dapat membantu kesejahteraan dengan memberikan pembelajaran melalui pendidikan alternatif kaum buruh sebagai modal awal membuka kesadaran bersama mengenai posisi yang dialami. Membuka kelas-kelas belajar ataupun dengan membuat forum-forum diskusi yang terprogram di kavling-kavling buruh. Melakukan pengorganisiran dan menghimpun kekuatan kolektif yang sadar, untuk membentuk serikat buruh independen yang progresif sebagai wadah legal atau pengikat kekuatan kolektif buruh perkebunan. Karena dengan kolektivitas massa yang sadarlah, perlawanan sejati akan tercipta.Di sisi lain organisasi-organisasi buruh di kota/kabupaten pun dapat bersolidaritas dengan mengusung isu buruh perkebuanan di setiap aksi-aksi massa, atau hal lain yang memungkinkan dilakukan demi terciptanya kesejahteraan bersama kaum buruh tersebut. Pendidikan alternatif yang diberikan hendaknyalah berbasiskan kebutuhan masyarakat perkebunan.<br />
<br />
<br />
<br />
D. Konsep Desain Pembelajaran <br />
<br />
Untuk mewujudkan kinerja lembaga pendidikan formal, nonformal, maupun informal yang maksimal, khususnya untuk mencapai tujuan pembelajaran atau kompetensi yang dibutuhkan peserta didik, sangat ditentukan oleh kepiawian dari tenaga pengajar (pendidik, guru, pelatih, instruktur atau sejenisnya. Sehubungan hal itu, guru dituntut setiap saat untuk dapat membuat desain pembelajaran yang tepat untuk diaplikasikan di kelas sesuai dengan tuntutan kurikulum berbasis kompetensi atau kurikulum yang berlaku di lembaga pendidkan yang menjalankannya.<br />
<br />
Desain pembelajaran adalah sebuah rancangan pembelajaran sebagai hasil dari keseluruhan proses identifikasi kebutuhan, perumusan tujuan pembelajaran, pengembangan strategi pembelajaran, pengembangan bahan ajar, serta pengembangan alat evaluasinya. Dengan demikian dalam menerapan kurikulum berbasis kompetensi, seorang guru perlu menguasai beberapa kompetensi untuk menunjang pekerjaannya. Kompetensi yang dimaksud adalah kompetensi umum, teknis, dan kompetensi profesional. Suatu kompetensi yang dijelaskan sebelumnya, menunjukkan kepada perbuatan atau tindakan (action) dalam hubungan dengan suatu tujuan yang jelas. Tanpa indikator tujuan yang jelas, maka suatu tindakan sesungguhnya tidak dapat disebut kompetensi (Hamalik, 1989). Kompetensi mengadung sejumlah komponen yang berisikan unsur-unsur yang bersifat membantu, sedangkan unsur-unsur itu mungkin berupa pengetahuan, keterampilan, proses, atau sikap. Ada beberapa jenis komponen kompetensi yang saling berinteraksi sesamanya, yaitu komponen: perilaku (performance), mata ajaran (teaching subject component), profesional (mengajar), proses (berpikir), penyesuaian diri (adjustment), dan komponen sikap. <br />
<br />
Kompetensi yang dimiliki seorang guru haruslah memiliki kriteria dan standar tertentu. Menurut Burke (1995), kriteria kompetensi tersebut adalah: (a) mampu melaksanakan keseluruhan tugas-tugas dari suatu pekerjaan, lebih daripada memiliki keterampilan atau tugas-tugas pekerjaan yang sifatnya spesifik, (b) sesuai dengan standar yang diharapkan dalam pekerjaan, dan (c) dalam lingkungan pekerjaan nyata yang memberi tekanan dan berkaitan dengan seluruh pekerjaan dan variasi-variasi pekerjaan yang sebenarnya. <br />
<br />
Mengajar adalah suatu kegiatan profesional yang dilakukan oleh para guru memerlukan suatu perancangan sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar. Menurut Soekamto (1993) perancangan pembelajaran ini merupakan suatu proses untuk menentukan metode pembelajaran manakah yang lebih baik dipakai guna memperoleh perubahan yang diinginkan pada pengetahuan dan tingkah laku serta keterampilan siswa dengan materi dan karakteristik siswa tertentu. Gafur (1982) mengartikan desain pembelajaran adalah sebagai keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan pembelajaran serta pengembangan teknik pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan tersebut, termasuk di dalamnya pengembangan paket pelajaran atau bahan ajar, kegiatan mengajar, uji coba, revisi dan kegiatan mengevaluasi. Sejalan dengan pendapat itu, Reigeluth dalam Suparman (1997) memberikan batasan kegiatan pembelajaran itu ke dalam tiga tahapan, yaitu (1) desain yang bagi seorang pengembang pembelajaran atau guru berfungsi sebagai cetak biru atau blue print bagi ahli bangunan, (2) produksi yang berarti penggunaan desain untuk membuat program pembelajaran, dan (3) validasi yang merupakan penentuan kualitas atau validitas dari produk akhir. <br />
<br />
Dari paparan tersebut, secara konseptual proses rancangan pembelajaran dimulai dari identifikasi kebutuhan pembelajaran dan diakhiri dengan identifikasi bahan dan strategi pembelajaran. Sedangkan proses pengembangan dimulai dengan memilih atau mengembangkan bahan pembelajaran dan menuangkannya ke dalam strategi pembelajaran yang dirancang, kemudian diakhiri dengan mengevaluasi strategi berikut bahan pembelajaran tersebut untuk meningkatkan keefektifan dan efisiensinya. Menurut Dick dan Carey (2005), proses desain pembelajaran sama panjangnya dengan proses pengembangan pembelajaran. Produknya tidak berhenti sampai disusunnya cetak biru, tetapi terus sampai ke tahap pengembangan bahan pembelajaran dan evaluasi formatifnya. <br />
<br />
Proses merancang dan pengembangan pembelajaran adalah bertujuan untuk menemukan atau menyusun sistem pembelajaran yang efektif dan efisien serta berdaya tarik. Menurut Degeng (2000) tujuan perancangan pembelajaran adalah memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Ini dilakukan dengan memilih, dan mengembangkan metode pembelajaran yang optimal untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Tahapan desain dan pengembangan pembelajaran itu terdiri atas: Tahap mengidentifikasi yaitu; (1) mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran dan menulis tujuan pembelajaran umum/standar kompetensi; (2) melakukan analisis pembelajaran; (3) mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa. Tahap mengembangkan yaitu: (4) menulis tujuan pembelajaran khusus (kompeteni dasar dan indikator); (5) menulis tes acuan patokan; (6) menyusun strategi pembelajaran; (7) mengembangkan bahan pembelajaran. Tahap mengevaluasi dan merevisi yaitu (8) mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif yang termasuk di dalamnya kegiatan merevisi. <br />
<br />
Dari berbagai batasan yang diberikan, maka dapat dikatakan bahwa perancangan pembelajaran merupakan suatu pendekatan secara sistematis yang mencakup analisis kebutuhan pembelajaran yang mendasari tujuan pembelajaran diselenggarakan, dan seluruh upaya merancang, mengembangkan, menilai, serta mengimplementasikannya dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran atau pembentukan suatu kompetensi siswa. Dengan melakukan perancangan pembelajaran, guru akan mampu mengamati, menganalisis dan memprediksi program secara keseluruhan karena adanya kerangka kerja yang logis dan terencana, meskipun program tersebut belum dikerjakan, sedang berjalan, ataupun sudah selesai. Sehubungan dengan itu, guru dapat mengetahui mengapa matapelajaran diberikan, apa keuntungannya bagi siswa mempelajari materi pelajaran yang dipilih oleh guru, dan bagaimana mengorganisasi pengalaman belajar. Selain itu, guru dapat melihat apakah pembelajaran yang dilakukan cukup efektif, efisien, dan berdaya tarik, sehingga dapat dicegah penyimpangan yang mungkin terjadi. <br />
<br />
<br />
<br />
C. Dasar Mendesain Pembelajaran<br />
<br />
Upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dilakukan oleh perancang pembelajaran dengan pijakan berbagai asumsi tertentu tentang hakikat perancangan pembelajaran. Asumsi dasar menurut Briggs (1980) adalah: (1) rancangan harus bertujuan untuk membantu seseorang belajar, (2) rancangan mencakup jangka panjang dan jangka pendek, (3) sistem pembelajaran yang dirancang secara sistematik dapat mempengaruhi perkembangan seseorang, (4) rancangan sistem pembelajaran harus dilaksanakan berdasarkan pendekatan sistem, dan (5) rancangan perlu didasarkan atas pengetahuan bagaimana manusia belajar. Selain itu Degeng (2000) menambahkan ada delapan asumsi dasar, yaitu: (1) perbaikan kualitas pembelajaran diawali dari rancangan pembelajaran, (2) pembelajaran dirancang dengan menggunakan pendekatan sistem., (3) rancangan pembelajaran didasarkan pada pengetahuan tentang bagaimana seseorang belajar, (4) rancangan pembelajaran diacukan kepada siswa secara perseorangan, (5) hasil pembelajaran mencakup hasil langsung dan hasil pengiring, (6) sasaran akhir rancangan pembelajaran adalah memudahkan siswa belajar, (7) rancangan pembelajaran mencakup semua variabel yang mempengaruhi belajar, (8) inti rancangan pembelajaran adalah penetapan metode pembelajaran yang optimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. <br />
<br />
Perancangan pembelajaran dapat dijadikan titik awal upaya perbaikan mutu pembelajaran. Ini berarti bahwa perbaikan mutu pembelajaran haruslah diawali dari perbaikan mutu rancangan pembelajaran. Mutu pembelajaran juga sangat ditentukan oleh pendekatan yang dipakai untuk merancangnya. Dengan menggunakan pendekatan sistem. akan memperbesar peluang dalam mengintegrasikan semua variabel yang mempengaruhi belajar dalam rancangan pembelajaran. Dengan melakukan analisis sistem pembelajaran akan dapat diketahui keseluruhan variabel yang mempengaruhi belajar, termasuk pula keterkaitan antar variabel tersebut. <br />
<br />
Mutu pembelajaran banyak ditentukan oleh bagaimana pembelajaran itu dirancang, dan bagaimana landasan pengembangannya: intuitifkah, ilmiahkah, atau intuitif-ilmiah? Rancangan pembelajaran yang menggunakan landasan intuitif berpijak kepada kemampuan intuisi perancangnya, sedangkan yang menggunakan landasan ilmiah lebih mengandalkan pada pengetahuan ilmiah atau teori-teori yang telah dikembangkan oleh ilmuwan. Pengembangan rancangan pembelajaran yang menggunakan landasan intuitif-ilmiah berpijak pada kemampuan intuisi perancangnya dengan dukungan landasan ilmiah yang sahih. Landasan ilmiah yang dipakainya biasanya adalah pengetahuan-pengetahuan ilmiah atau teori-teori belajar dan pembelajaran yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan pembelajaran. <br />
<br />
Rancangan pembelajaran diacukan kepada siswa secara perseorangan. Asumsi ini diangkat dari fenomena bahwa hal belajar terjadi secara perseorangan. Perilaku belajar dapat ditata atau dipengaruhi, tetapi perilaku belajar itu akan tetap berjalan sesuai dengan karakteristik siswa. Oleh karena itu, dalam merancang pembelajaran harus mempertimbangkan karakteristik siswa secara perseorangan, seperti: tingkat perkembangan intelektual, gaya belajar, motivasi, dan kemampuan awalnya. Misalnya, siswa yang lambat tidak mungkin dipaksa bertindak cepat, sebaliknya siswa yang cepat tidak mungkin dipaksa bertindak lambat. Dalam hal seperti ini, kalau pembelajaran tidak dirancang dengan acuan perseorangan, maka siswa yang lambat akan selalu kekurangan waktu dan siswa yang cepat akan selalu kelebihan waktu. <br />
<br />
Dalam merancang pembelajaran perlu memilah hasil pembelajaran yang segera bisa diukur pencapaiannya (hasil langsung) dan hasil pembelajaran yang terbentuk secara kumulatif yang merupakan urunan dari sejumlah peristiwa pembelajaran (hasil pengiring). Perancang pembelajaran seringkali merasa kecewa dengan hasil nyata yang dicapainya karena ada sejumlah hasil yang tidak segera bisa diamati setelah pembelajaran berakhir, terutama hasil pembelajaran yang termasuk kawasan sikap. Sikap lebih merupakan hasil pembelajaran yang terbentuk secara kumulatif dalam waktu yang relatif lama dan merupakan integrasi dari hasil sejumlah perlakuan pembelajaran (Degeng, 2000). <br />
<br />
Pembelajaran pada hakikatnya merupakan upaya membelajarkan siswa dan perancangan pembelajaran merupakan penataan upaya tersebut agar muncul perilaku belajar. Dalam kondisi yang tertata: tujuan dan isi pembelajaran jelas, strategi pembelajaran optimal, akan amat berpeluang memudahkan belajar. Di pihak lain, peranan pengajar akan menjadi semakin kompleks, ia bukan hanya sebagai salah satu sumber belajar, tetapi juga harus menampilkan diri sebagai orang ahli dalam menata sumber-sumber belajar lain serta mengintegrasikannya ke dalam tampilan dirinya. Guru itu harus mampu menampilkan diri sebagai satu komponen yang terintegrasi dari keseluruhan sumber belajar. Ini berarti, adalah tidak tepat kalau dikatakan bahwa pembuatan rancangan pembelajaran dimaksudkan untuk memudahkan mengajar. Rancangan pembelajaran bukan untuk itu, akan tetapi untuk memudahkan siswa belajar. Siswa yang selayaknya dijadikan kunci akhir dalam menetapkan mutu suatu rancangan pembelajaran. <br />
<br />
Perancangan pembelajaran haruslah didasarkan pada hasil identifikasi dan analisis tentang semua variabel yang secara teoritik dan empirik mempengaruhi belajar. Variabel-variabel yang mempengaruhi terjadinya perilaku belajar dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: kondisi pembelajaran, metode pembelajaran, dan hasil pembelajaran (Reigeluth, 1983 dan Degeng, 1989). Kondisi pembelajaran mencakup semua variabel yang tidak dapat dimanipulasi oleh perancang dan harus diterima sebagaimana adanya. Yang termasuk ke dalam variabel kondisi adalah: tujuan pembelajaran, isi pembelajaran, keterbatasan sumber belajar, dan karakteristik siswa. Metode pembelajaran mencakup semua cara yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran dalam kondisi tertentu. Variabel metode adalah: strategi mengorganisasi isi pembelajaran, strategi menyampaikan isi pembelajaran, dan strategi mengelola pembelajaran. Hasil pembelajaran mencakup semua akibat yang muncul dari penggunaan metode tertentu pada kondisi tertentu, seperti keefektifan, efisiensi, dan daya tarik pembelajaran. Suatu rancangan pembelajaran selayaknya mencakup keseluruhan variabel ini. <br />
<br />
Inti utama dalam perancangan pembelajaran adalah pada pemilihan, penetapan, dan pengembangan variabel metode pembelajaran. Pemilihan metode pembelajaran harus didasarkan pada analisis kondisi dan hasil pembelajaran. Analisis akan menunjukkan bagaimana kondisi pembelajarannya dan apa hasil pembelajaran yang diinginkan. Setelah itu, baru penetapan dan pengembangan metode pembelajaran dilakukan. Dalam menentukan metode pembelajaran ada tiga prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) tidak ada satu metode pembelajaran yang unggul untuk semua tujuan dalam semua kondisi, (2) metode (strategi) pembelajaran yang berbeda memiliki pengaruh yang berbeda dan konsisten pada hasil pembelajaran, dan (3) kondisi pembelajaran yang berbeda memiliki pengaruh yang konsisten pada hasil pembelajaran. <br />
<br />
<br />
<br />
D. Alternatif Desain Pembelajaran <br />
<br />
Kemampuan sebagai seorang perancang pembelajaran tidak begitu saja muncul tanpa bekal pengetahuan tentang berbagai hal yang terkait dengan setiap langkah perancangan pembelajaran. Langkah perancangan pembelajaran ditentukan oleh model pengembangan pembelajaran yang dipilih atau diadaptasi oleh perancang (tenaga pengajar) untuk dikembangkan. Mengapa perlu model pembelajaran? Bagi para perancang dan pengembang pembelajaran berguna sebagai: (1) alat untuk berkomunikasi antara mereka sendiri dan juga dengan para klien, (2) petunjuk dalam perencanaan aktivitas-aktivitas yang akan dilaksanakan pada pengelolaan pembelajaran, atau (3) sejumlah aturan yang bersifat preskriptif untuk suatu pengambilan keputusan. Ketiga kegunaan tersebut dapat saja saling tumpang tindih, namun model-model ini selalu mempunyai kecenderungan untuk memberikan tekanan pada satu fungsi saja. <br />
<br />
Banyak pilihan model perancangan/pengembangan sistem pembelajaran yang dapat diacu dalam menentukan desain pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kondisi latar pembelajaran atau situasi setempat. Model-model pengembangan pembelajaran itu dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu model yang berorientasi pada: (1) kelas, (2) hasil atau produk, (3) sistem, dan (4) organisasi (Gustafson dalam Soekamto, 1993; Miarso, 1994). <br />
<br />
(1) Model berorientasi pada kelas merupakan yang terbanyak ada dalam literatur, mengingat banyaknya macam pembelajaran baik secara sektoral (formal atau non formal), maupun tingkatan (mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi). Ditambah lagi dengan adanya berbagai macam tujuan serta kombinasi di antara tujuan-tujuan itu. Model ini mempunyai asumsi bahwa telah ada guru, siswa, kurikulum, dan fasilitas tertentu. Kebutuhan pengembangan terjadi apabila guru merasa bahwa efektivitas pengajarannya perlu ditingkatkan. Contohnya adalah model: Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), Gerlach & Ely, Kemp, Briggs & Wager, Rekonstruksi Kuliah, DeCecco, dan model Davis, Alexander, & Yelon.<br />
<br />
(2) Model berorientasi pada pembuatan produk atau hasil mempunyai tiga ciri utama: (1) adanya asumsi bahwa produk pembelajaran diperlukan, (2) diperlukan uji coba dan revisi berulang kali hingga mantap, dan (3) adanya asumsi bahwa produk itu harus dapat digunakan oleh berbagai pengelola pembelajaran. Contohnya adalah model: Dick & Carey, Banathy, Baker & Schutz, Paul Harmon, dan model SLTP Terbuka.<br />
<br />
(3) Model berorientasi pada peningkatan sistem ini dapat ditandai dengan adanya empat karakteristik, yaitu: (1) dikerjakan oleh suatu regu yang besar jumlah maupun keahliannya, (2) dikembangkan secara linear dengan ketepatan langkah, (3) disebarkannya kegiatan maupun hasil secara meluas, dan (4) berorientasikan pada pemecahan masalah. Contohnya adalah model: Instructional Development Institute (IDI), Interservice procedures for Instructional System Development (IPISD), Corseware Development Process (CDP), Gagne & Briggs. <br />
<br />
(4) Model berorientasi pada peningkatan organisasi merupakan hal yang masih belum banyak dilakukan. Pengembangan organisasi berkepentingan dengan penyempurnaan pembelajaran, meskipun perhatiannya lebih banyak pada struktur, kebijaksanaan dan lingkungan organisasi di mana kegiatan pembelajaran berlangsung. Kecuali untuk peningkatan pembelajaran, tujuan model ini adalah untuk mengadakan modifikasi atau mengadaptasi organisasi dan personel yang ada ke suatu lingkungan yang sifatnya baru. Contohnya adalah model: Southeast Asia Instructional Development Institut (SAIDI) oleh Blondin, Blake & Mouton, dan Carkhuff & Fisher. <br />
<br />
Dengan adanya beberapa model pengembangan pembelajaran yang mungkin dapat dipakai, maka kita dihadapkan pada pertanyaan, mau pakai yang mana? Jawabannya adalah: Ada lima kriteria yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam memilih model perancangan/pengembangan sistem pembelajaran, yaitu model itu harus: (1) Sederhana, bentuknya sederhana dapat mempermudah kita untuk mengerti, mengikuti dan menggunakannya. (2) Lengkap, suatu model yang lengkap haruslah mengandung tiga unsur pokok, yaitu identifikasi, pengembangan, dan evaluasi. (3) Mungkin diterapkan, selain sederhana bentuknya, dan lengkap komponennya, maka model itu hendaklah dapat diterima (acceptable) dan dapat diterapkan (applicable) mengingat situasi dan kondisi setempat. (4) Luas, jangkauan model tersebut hendaknya cukup luas, tidak saja dapat berlaku untuk pola proses mengajar belajar yang konvensional, tetapi juga proses belajar yang lebih luas, baik yang menghendaki kehadiran guru secara fisik maupun yang tidak. (5) Teruji, syarat terakhir ini perlu pula dipertimbangkan, pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah model yang bersangkutan telah terpakai secara luas, dan teruji/terbukti dapat memberikan hasil yang baik. Apabila dari model yang sudah ada itu ternyata tidak ada yang memenuhi kelima kriteria tersebut, masih ada kemungkinan bagi kita untuk mengembangkan model yang baru sesuai dengan situasi dan kondisi yang membutuhkannya. Bisa dengan menciptakan yang baru atau cukup dengan memodifikasi dari model-model yang sudah ada. <br />
<br />
Bila dilihat dari proses perancangan pembelajaran, maka pada umumnya, syarat-syarat seorang perancang pembelajaran harus memiliki tiga kemampuan, yaitu (1) kemampuan analitik, (2) kemampuan pengembangan, dan (3) kemampuan pengukuran. Model pengembangan pembelajaran manapun yang diacu seorang perancang, maka ketiga persyaratan itu haruslah dimilikinya. <br />
<br />
Kemampuan analitik diperlukan ketika melewati langkah analisis kondisi pembelajaran, yang meliputi kemampuan untuk menganalisis: tujuan dan karakteristik matapelajaran, kendala dan sumber-sumber belajar yang tersedia, dan kemampuan menganalisis karakteristik siswa. Unjuk kerja analisis ini hanya mungkin dapat ditampilkan kalau seorang perancang telah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hakikat dan klasifikasi: tujuan pembelajaran, tipe isi dan struktur isi matapelajaran, sumber belajar, serta hakikat dan klasifikasi karakteristik siswa. <br />
<br />
Kemampuan pengembangan perlu dimiliki oleh seorang perancang pembelajaran agar dapat menampilkan langkah penetapan strategi-strategi pembelajaran, yaitu strategi pengorganisasian, penyampaian, dan pengelolaan pembelajaran. Kemampuan pengembangan dalam konteks ini mencakup kemampuan untuk memilih, menetapkan, dan mengembangkan strategi-strategi pembelajaran yang paling optimal untuk mencapai hasil yang diinginkan. Diasumsikan bahwa kemampuan-kemampuan ini hanya mungkin dapat ditampilkan apabila perancang pembelajaran memiliki pengetahuan dasar yang cukup mengenai cara-cara mengorganisasi isi pembelajaran, cara-cara menyampaikan isi pembelajaran, dan cara-cara mengelola pembelajaran. <br />
<br />
Kajian strategi mengorganisasi isi pembelajaran mencakup strategi tingkat mikro yaitu yang hanya melibatkan satuan-satuan konsep secara terpisah, dan strategi makro yaitu yang melibatkan isi matapelajaran yang akan diajarkan dalam kurun waktu tertentu. Kajian mengenai strategi penyampaian isi pembelajaran dipusatkan pada cara yang dapat dipilih oleh perancang pembelajaran atas dasar tersedia/tidaknya sumber belajar (media belajar) yang diperlukan. Kajian lain yang dikaitkan dengan butir ini adalah bagaimana bentuk interaksi belajar setiap siswa dengan setiap sumber belajar yang dipakai. Selain itu, termasuk pula kajian tentang struktur atau bentuk mengajar belajar yang sebaiknya dipakai bila sumber belajar tertentu tidak tersedia. Kajian mengenai strategi pengelolaan pembelajaran dipusatkan pada penjadualan penggunaan suatu sumber belajar, pembuatan catatan tentang kemajuan belajar, pengelolaan motivasional, dan kontrol belajar.<br />
<br />
Kemampuan pengukuran ini diperlukan untuk mengukur hasil pembelajaran, hal ini harus mampu ditampilkan oleh seorang perancang agar ia dapat menetapkan tingkat keefektifan, efisiensi, dan daya tarik pembelajaran yang telah dirancangnya. Kemampuan ini meliputi kemampuan dasar dalam memilih, menetapkan, dan mengembangkan alat ukur yang paling tepat untuk mengukur pencapaian tujuan. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang cukup tentang klasifikasi hasil pembelajaran yang perlu diukur, indikator-indikator setiap klasifikasi, dan penetapan kriteria tingkat keberhasilan (standard). <br />
<br />
Selain berbagai persyaratan yang dijelaskan di atas yang harus dimiliki seorang perancang pembelajaran khususnya guru, ada hal yang sangat ditekankan agar kesemuanya itu dapat terwujud maka diperlukan kesadaran dan sikap kepedulian serta komitmen yang tinggi dari para pengajar untuk cenderung melakukan perancangan pembelajaran jauh sebelum dimulainya pembelajaran di kelas. Setinggi apapun pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh pengajar, tentu saja tidak akan bermanfaat dalam meningkatkan mutu pembelajarannya bila tidak memiliki kesadaran, kepedulian , dan komitmen yang tinggi terhadap peningkatan kualitas pendidikan itu. <br />
<br />
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa langkah merancang pembelajaran tergantung kepada model pengembangan pembelajaran yang digunakan. Perlu diketahui bahwa ada empat unsur dasar dalam proses perancangan pembelajaran yang selalu dibahas hampir semua model perancangan. Keempat unsur dasar dapat diwujudkan dengan jawaban terhadap pertanyaa: (1) untuk siapa program itu dirancang? (ciri siswa, mahasiswa, atau peserta pelatihan), (2) kemampuan apa yang anda inginkan untuk dipelajari? (tujuan), (3) Bagaimana isi pelajaran atau keterampilan dapat dipelajari dengan baik? (metode dan kegiatan belajar mengajar), dan (4) Bagaimana anda menentukan tingkat penguasaan pelajaran yang sudah dicapai? (tata cara evaluasi). Keempat unsur ini saling terkait dan dapat dianggap sebagai rencana perancangan menyeluruh. Dalam kenyataannya, ada beberapa komponen tambahan yang perlu mendapatkan perhatian dan yang membentuk suatu model rancangan pembelajaran menjadi lengkap bila dipadukan dengan keempat unsur dasar rancangan menyeluruh.<br />
<br />
Berikut ini diuraikan dua model pengembangan pembelajaran, satu model berorientasi kelas yaitu model Kemp dan satu model berorientasi hasil atau poduk yaitu model Dick & Carey. Kedua dapat sebagai alternatif untuk diaplikasikan dalam perancangan pada kondisi dan situasi di pendidikan formal dan nonformal, bahkan pada pendidikan informal dengan menyesuaikan latar pembelajaran. <br />
<br />
<br />
<br />
1. Model perancangan pembelajaran Kemp.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Gambar 1. Model pengembangan Pembelajaran Kemp<br />
<br />
<br />
<br />
Memperhatikan gambar 1, ada sepuluh unsur yang harus diperhatikan dalam merancang pembelajaran menyeluruh. Kesepuluh unsur adalah sebagai berikut.<br />
<br />
1). Perkirakan kebutuhan belajar untuk merancang suatu program pembeajaran; nyatakan tujuan, kendala, dan prioritas yang harus diketahui.<br />
<br />
2). Pilih pokok bahasan atau tugas untuk dilaksanakan dan tunjukkan tujuan umum yang akan dicapai<br />
<br />
3). Teliti ciri siswa yang harus mendapat perhatian selama perencanaan<br />
<br />
4). Tentukan isi pelajaran dan uraikan unsur tugas yang berkaitan dengan tujuan<br />
<br />
5). Nyatakan tujuan belajar yang akan dicapai dari segi isi pelajaran dan unsur tugas<br />
<br />
6). Rancang kegiatan belajar-mengajar untuk mencapai tujuan yang sudah dinyatakan<br />
<br />
7). Pilih sejumlah media untuk mendukund kegiatan pembelajaran.<br />
<br />
8). Rincikan pelayanan penunjuang yang diperlukan untuk mengembangkan dan melaksanakan semua kegiatan dan untuk memperoleh atau membuat bahan.<br />
<br />
9). Bersiap-siaplah untuk mengevaluasi hasil belajar dan hasil program.<br />
<br />
10). Tentukan persiapan siswa untuk mempelajari pokok bahasan dengan memberikan uji-awal kepada mereka.<br />
<br />
Rancangan pembelajaran harus dimulai dengan memastikan apakah suatu rancangan tersebut cocok untuk program yang akan dilaksanakan. Karena itu, di dalam diagram di atas, unsur pertama ditempatkan di tengah-tengah. Meskipun urutan kesepuluh unsur di atas sudah logis. Kapan menangani unsur tertentu tidaklah dapat ditetapkan lebih dahulu. Itulah sebabnya kita menggunakan pola berbentuk bulat telur, yang tidak mempunyai awal titik tertentu. Setiap orang dapat melaksanakan proses perancangan pembelajaran dengan caranya sendiri, mulai dengan salah satu unsur yang mana saja, dan mengikuti urutan apa saja yang dirasakannya cocok.<br />
<br />
Pada gambar, satu unsur lainnya sengaja tidak dihubungkan dengan garis atau panah, sebab garis penghubung antara unsur akan menunjukkan urutan yang lurus, padahal diagram itu dimaksudkan untuk menunjukkan keluwesan dalam menggunakan kesepuluh unsur tersebut. Misalnya, dalam beberapa program tertentu, mungkin mengetahui kebutuhan belajar, memberikan uji-awal, atau merinci isi pelajaran tidak dianggap penting. Alasan lain penggunaan bentuk bulat telur adalah untuk menunjukkan saling ketergantungan antara kesepuluh unsur tersebut. Pengambilan keputusan mengenai salah satu unsur akan mempengaruhi unsur lainnya. Pada saat menuliskan tujuan pembelajaran, sejumlah butir isi pelajaran dapat ditambah atau disusun berlainan. Atau, sewaktu menentukan kegiatan belajar-mengajar, maksud tujuan itu pada awal proses. Dengan demikian, mungkin perlu ada revisi. Akibatnya, tata cara yang disarankan sangat memungkinkan keluwesan dalam memilih unsur dan dalam urutan pembahasan semua unsur tersebut. Tata cara ini memungkinkan penambahan dan perubahan rencana perancangan pembelajaran sewaktu proses pembuatan ini berlangsung.<br />
<br />
<br />
<br />
2. Model perancangan pembelajaran Dic & Carey<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
1. Mengidentifikasi Kebutuhan Instruksional (Pembelajaran)<br />
<br />
Kebutuhan adalah kesenjangan keadaan saat ini dibandingkan dengan keadaan yang seharusnya. Dengan kata lain, setiap keadaan yang kurang dari seharusnya menunjukkan adanya kebutuhan. Apabila kesenjangan itu besar atau menimbulkan akibat lebih jauh sehingga perlu ditempatkan sebagai prioritas untuk diatasi, kebutuhan itu disebut masalah. Misalnya, hasil evaluasi pada akhir suatu matapelajaran, siswa berpendapat bahwa apa yang diperolehnya dalam matapelajaran itu kurang berguna bagi mereka, dan penyajian tidak menarik sehingga sulit dipahami. Oleh karenanya, hasil belajar merekapun rendah. Data ini diperkuat oleh pendapat beberapa guru lain yang mengajarkan matapelajaran yang sama, menyatakan bahwa sebagian isi matapelajaran kurang relevan dengan pekerjaan siswa, urutannyapun kurang sistematik. Selain itu, tesnya kurang tersusun dengan baik. Masalahnya adalah kurang baiknya kualitas sistem instruksional untuk matapelajaran tersebut. Untuk mengatasi masalah ini matapelajaran itu harus didesain kembali.<br />
<br />
Langkah mengidentifikasi kebutuhan instruksional adalah suatu proses untuk: (a) menentukan kesenjangan penampilan siswa yang disebabkan kekurangan kesempatan mendapatkan pendidikan dan pelatihan pada masa lalu, (b) mengidentifikasi bentuk kegiatan instruksional yang paling tepat, dan (c) menentukan populasi sasaran yang dapat mengikuti kegiatan instruksional. <br />
<br />
Menurut Harles (1975) dalam melakukan identifikasi kebutuhan instruksional ada tiga kelompok yang dapat dijadikan sumber informasi, yaitu: (a) siswa, terutama siswa yang telah bekerja, (b) masyarakat, termasuk orang tua dan orang yang akan menggunakan lulusan, dan (c) pendidik, termasuk guru dan pengelola program pendidikan. Proses mengidentifikasi kebutuhan instruksional ini bertujuan untuk mengetahui perumusan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang perlu diajarkan kepada siswa dalam matapelajaran tertentu. Hasil perumusan tersebut dijadikan dasar untuk merumuskan Tujuan Instruksional Umum (TIU) atau Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)/Standar Kompetensi (SK). Teknik yang digunakan dalam mengidentifikasi kebutuhan instruksional dapat melalui kuesioner, interviu, observasi, dan tes.<br />
<br />
Dari kegiatan mengidentifikasi kebutuhan instruksional diperoleh jenis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang tidak pernah dipelajari atau belum dilakukan dengan baik oleh siswa. Jenis pengetahuan, keterampilan , dan sikap tersebut masih bersifat umum atau garis besar. Ia merupakan hasil belajar yang diharapkan dikuasai siswa setelah menyelesaikan program pendidikan. Hasil belajar ini disebut tujuan instruksional. Karena sifatnya masih umum, maka disebut tujuan instruksional umum. <br />
<br />
Tujuan instruksional, selain berfungsi sebagai sesuatu yang akan dicapai, juga berfungsi sebagi kriteria untuk mengukur keberhasilan suatu kegiatan instruksional. Oleh karena itu, seorang guru yang merumuskan tujuan instruksionalnya sebelum mulai proses pengajaran dapat dipandang sebagai guru yang bersedia mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalannya dalam mengajar. Atas dasar kriteria itu pula seorang guru dapat menentukan kapan ia harus memperbaiki efektivitas pengajarannya. <br />
<br />
TPU atau TPK atau SK sebaiknya dirumuskan dengan kriteria, (a) berorientasi kepada siswa, (b) berorientasi kepada hasil belajar setelah menyelesaikan program, (c) menggunakan istilah akan dapat, (d) dirumuskan dalam bentuk kalimat mengunakan kata kerja aktif atau operasional atau dapat diukur/diamati, dan (e) mengandung obyek yang jelas. Contoh: Siswa...................... akan dapat menerapkan konsep ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. <br />
<br />
<br />
<br />
2. Melakukan Analisis Instruksional<br />
<br />
Melakukan analisis instruksional adalah suatu proses menjabarkan perilaku umum menjadi perilaku khusus yang tersusun secara logis dan sitematik. Proses ini bertujuan untuk mengetahui gambaran susunan perilaku khusus dari yang paling awal sampai yang paling akhir. Baik jumlah maupun susunan perilaku tersebut akan memberikan keyakinan kepada guru bahwa perilaku umum yang tercantum dalam TPU/SK dapat dicapai secara efektif dan efisien oleh siswa. Melalui perilaku-perilaku khusus yang telah tersusun secara sistematik, siswa akan mencapai perilaku umum.<br />
<br />
Dengan melakukan analisis instruksional akan tercipta suatu struktur perilaku dari perilaku khusus yang ada dalam kandungan TPU/SK. Struktur perilaku tersebut digolongkan empat macam, yaitu: (a) struktur hirarki, (b) struktur prosedural, (c) struktur pengelompokan, dan (e) struktur kombinasi. Srtruktur perilaku hirarki adalah kedudukan dua perilaku yang menunjukkan salah satu perilaku hanya dapat dilakukan bila telah dikuasai perilaku yang lain (ada perasyarat). Struktur perilaku prosedural adalah kedudukan beberapa perilaku yang menunjukkan satu seri urutan penampilan perilaku, tetapi tidak ada yang menjadi perilaku prasyarat untuk yang lain. Struktur perilaku pengelompokan adalah kedududukan perilaku-perilaku khusus yang tidak mempunyai ketergantungan antara satu dengan yang lainnya. Walaupun semuanya berhubungan. Struktur perilaku kombinasi adalah perilaku khusus sebagian tersebar akan terstruktur secara kombinasi antara struktur hirarki, prosedural, dan peneglompokan. <br />
<br />
<br />
<br />
3. Mengidentifikasi Perilaku dan Karakteristik Awal Siswa<br />
<br />
Setelah selesai melakukan analisis instruksional dan sudah tergambarkan perilaku-perilaku khusus yang akan dikuasai oleh siswa. Maka tahap berikutnya mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa atas hasil analisis instruksional yang sudah dijabarkan. Kemampuan siswa yang ada dalam kelas acapkali heterogen, sebagian siswa sudah banyak tahu, sebagian lagi belum tahu sama sekali tentang materi yang diajarkan di kelas berdasarkan perilaku-perilaku khusus yang ada. Bila guru mngikuti kelompok siswa sudah banyak tahu, maka kelompok siswa yang belum tahu akan ketinggalan dan tidak dapat menangkap pelajaran yang diberikan. Sebaliknya, bila guru mengikuti kelompok siswa yang belum tahu, kelompok siswa yang banyak tahu merasa tidak belajar apa-apa dan bosan.<br />
<br />
Untuk mengatasi hal ini, ada dua pendekatan yang dapat dipilih. Pertama, siswa menyesuaikan dengan materi pelajaran dan kedua, materi pelajaran disesuaikan dengan siswa.<br />
<br />
Setelah diketahui siswa yang menjadi populasi sasaran kegiatan instruksional, hal yang perlu dipertanyakan adalah sejauhmana pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka miliki sehingga dapat mengikuti pembelajaran? Pertanyaan ini sangat penting dijawab oleh guru sehingga sejak permulaan pembelajaran telah dapat disesuaikan dengan siswa yang akan mengikutinya. Jawaban itu merupakan pula suatu batasan bagi siswa yang bermaksud mengikuti matapelajaran tersebut. Teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi perilaku awal siswa dapat digunakan kuesioner, interview, observasi, dan tes. Subjek yang memberikan informasi diminta untuk mengidentifikasi seberapa jauh tingkat penguasaan siswa dalam setiap perilaku khusus melalui skala penilaian. Untuk mendapatkan data yang paling keras, adalah menggunakan tes penampilan siswa dan observasi terhadap pelaksanaan pekerjaan siswa serta tes tertulis untuk mengetahui tingkat pengetahuan siswa. Tetapi, bila tes seperti ini tidak tepat dilakukan karena dirasakan kurang etis, kesulitan teknik pelaksanaannya, atau tidak mungkin dilaksanakan karena sebab yang lain, pengggunaan skala penilaian cukup memadai. Skala penilaian tersebut diisi oleh orang-orang yang tahu secara dekat terhadap kemampuan siswa dan diisi oleh siswa sebagai self report.<br />
<br />
Berdasarkan masukan ini, dapat ditetapkan oleh guru titik berangkat atau permulaan pelajaran yang harus diberikan pada siswa. Titik itu adalah perilaku khusus di atas garis batas yang telah dikuasai siswa atau calon siswa.<br />
<br />
Hasil akhir dari kegiatan mengidentifikasi perilaku awal siswa adalah menentukan garis batas antara perilaku yang tidak perlu diajarkan dan perilaku yang harus diajarkan kepada siswa. Perilaku yang akan diajarkan ini kemudian dirumuskan dalam bentuk tujuan pembelajaran khusus (TPK) atau Kompetensi Dasar (KD) beserta indikator.<br />
<br />
Selain mengidentifikasi perilaku awal siswa, guru harus pula mengidentifikasi karakteristik siswa yang berhubungan dengan pengembangan instruksional. Misalnya, minat, kemampuan bahasa inggris, kemampuan pancaindra, kesenangan, dan lain-lain yang dimiliki oleh siswa. Karakteristik ini perlu diketahui oleh guru, karena berkaitan dengan pengembangan strategi pembelajaran (urutan pebelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, dan waktu pembelajara) yang akan diterapkan.<br />
<br />
<br />
<br />
4. Menulis Tujuan Kinerja atau Tujuan Instruksional Khusus (TIK/TPK)<br />
<br />
Tujuan instruksional khusus terjemahan dari specific instructional objective. TIK/TPK ditempatkan sebagai komponen awal dalam menyusun desain instruksional merupakan pusat perhatian setiap pengembangan instruksional. TIK/TPK merupakan dasar dan pedoman bagi seluruh proses pengembangan instruksional selanjutnya. Perumusan TIK/TPK nerupakan titik permulaan yang sesungguhnya dari proses pengembangan instruksional, sedangkan proses sebelumnya merupakan tahap pendahuluan untuk menghasilkan TIK/TPK.<br />
<br />
TIK/TPK merupakan satu-satunya dasar dalam menyusun kisi-kisi tes. Selanjutnya TIK/TPK merupakan alat untuk menguji validitas isi tes. Dalam menentukan isi pelajaran yang akan diajarkan, pengembang instruksional merumuskannya berdasarkan perilaku yang ada dalam TIK/TPK. Tujuan instruksional menjadi arah proses pengembangan instruksional karena di dalamnya tercantum rumusan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang akan dacapai siswa pada akhir proses pembelajaran. Keberhasilan siswab dalam mencapai tujuan tersebut merupakan pula ukuran keberhasilan sistem pembelajaran yang digunakan guru.<br />
<br />
Perumusan TIK/TPK harus mengandung unsur-unsur yang dapat memberikan petunjuk kepada penyusunan tes agar ia dapat mengembangkan tes yang benar-benar dapat mengukur perilaku yang terdapat di dalamnya. Unsur-unsur itu dikenal dengan ABCD, yang berasal dari kata A = Audience, B = Behavior, C = Condition, dan D = Degree.<br />
<br />
Audience adalah siswa yang akan belajar. Behavior adalah perilaku yang spesifik yang akan dimunculkan oleh siswa setelah selesai proses belajarnya dalam matapelajaran tertentu. Codition adalah batasan yang dikenakan kepada siswa atau alat, informasi, atau lingkungan yang digunakan siswa pada saat ia dites, bukan pada saat ia belajar. Degree adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai perilaku tersebut. Contoh rumusan TIK/TPK adalah: Jika diberikan kalimat aktif dalam bahasa Indonesia, siswa…………… , akan dapat menerjemahkannya ke dalam kalimat pasif bahasa Inggris, paling sedikit 80% benar. <br />
<br />
Dengan merumuskan TIK/TPK guru dapat mengidentifikasi isi atau materi matapelajaran yang akan diajarkan. TIK/TPK mengandung unsur behavior atau perilaku yang diharapkan dicapai siswa di akhir pelajaran. Banyaknya rumusan TIK/TPK yang disusun sesuai dengan banyaknya perilaku khusus yang telah ditetapkan berdasarkan hasil identifikasi perilaku awal siswa. Rumusan perilaku ini terdiri dari dua hal yaitu kata kerja dan objek. Objek inilah yang menunjukkan topik atau pokok bahasan dari isi matapelajaran. Dari contoh TIK/TPK tersebut di atas maka yang menjadi topik pelajarannya adalah kalimat pasif. Setiap topik dapat diuraikan menjadi sub topik. Uraian yang rinci akan memudahkan perancang pembelajaran atau guru dalam menulis atau memilih bahan pelajaran. Materi matapelajaran untuk setiap TIK/PTK akan tergambar dalam strategi instruksional. Dengan perkataan lain rumusan isi matapelajaran secara singkat akan dibuat guru pada saat ia menyusun strategi instruksional. <br />
<br />
<br />
<br />
5. Mengembangkan Butir Tes Acuan Patokan<br />
<br />
Setelah TIK/TPK selesai dirumuskan secara operasional, tahap berikutnya adalah mengembangkan butir tes acuan patokan. TIK/TPK berisi perilaku-perilku khusus yang belum dikuasai siswa sebelum memulai pembelajaran. TIK/TPK merupakan hasil dari dua proses, yaitu hasil kegiatan analisis insturuksional dan mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa. Guru haruslah menyusun tes yang dapat mengukur penguasaan siswa dalam setiap perilaku tersebut. Bukan mengukur seluruh uraian guru dalam proses instruksional, sebab apa yang diberikan guru selama proses tersebut belum tentu seluruhnya relevan dengan TIK/TPK. Isi pelajaran bukanlah kriteria untuk mengukur keberhasilan proses pelaksanaan instruksional. Ia bagian dari proses itu dan termasuk harus diuji relevansinya dengan tujuan instruksional.<br />
<br />
Setiap butir tes yang relevan dengan TIK/TPK adalah valid untuk digunakan. Apabila di kemudia hari setelah selesai proses instruksional seluruh siswa ternyata menguasai 100% perilaku dalam TIK TPKtersebut, maka dapat ditafsirkan bahwa proses instruksional tersebut telah efektif. Ini berarti butir tes yang digunakan telah mengukur apa yang seharusnya diukur. Butir tes yang mengacu kepadaTIK/TPK atau untuk mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap perilaku yang terdapat dalam TIK/TPK tersebut dinamakan tes acuan patokan (criterion-referencd test).<br />
<br />
Untuk menyusun butir Tes Acuan Patokan (TAP), guru perlu melakukan langkah-langkah berikut. (1) Menentukan maksud tes yaitu (a) memberikan umpan balik tentang hasil belajar siswa dalam setiap tahap proses belajarnya, maka guru menyusun TAP untuk mengukur secara cermat pencapaian siswa setiap perilaku dalam TIK/TPK ini. Tes ini berfungsi sebagai tes formatif. (b) menilai efektivitas sistem instruksional secara keseluruhan. Untuk ini guru menyusun TAP yang dapat mengukur hasil belajar siswa dalam menguasai seluruh perilaku dalam TPU. (2) Membuat tabel spesifikasi(kisi-kisi) yang memuat: daftar perilaku, bobot perilaku, jenis tes, dan jumlah butir tes. (3) Menulis butir tes sesuai tabel spesifikasi. (4) Merakit tes yang telah ditulis dan dikelompokkan atas dasar jenis kemudia diberi nomor urut. (5) Menulis petunjuk menjawab tes sesuai jenisnya. (6) Menulis kunci jawaban tes. (7) Mengujicobakan tes. (8) Menganalisis hasil ujicoba. (9) Merevisi tes. <br />
<br />
<br />
<br />
6. Mengembangkan Strategi Instruksional <br />
<br />
Dick dan Carey (1996), Dick, Carey, dan Carey (2005), mengatakan suatu strategi instruksional menjelaskan komponen-komponen umum dari suatu set bahan instruksional dan prosedur-prosedur yang akan digunakan bersama bahan-bahan tersebut untuk menghasilkan hasil belajar tertentu pada siswa. Ia menyebutkan lima komponen umum dari strategi instruksional yaitu, (1) kegiatan pra-intruksional; (2) penyajian informasi; (3) partisipasi siswa; (4) tes; dan (5) tindak lanjut.<br />
<br />
Merril dan Tennyson (1977) menyebutnya strategi instruksional sebagai urutan tertentu dari penyajian. Sedangkan AT&T (1985) menyamakannya dengan metode instruksional. Gagne dan Briggs (1979) menyebutnya sebagai sembilan urutan kegiatan insturksional, yaitu: (1) memberikan motivasi atau menarik perhatian; (2) menjelaskan tujuan instruksioanal kepada siswa; (3) mengingatkan kompetensi prasyarat; (4) memberi stimulus (masalah, topik, konsep); (5) memberi petunjuk belajar (cara mempelajari); (6) menimbulkan penampilan siswa; (7) memberi umpan balik; (8) menilai penampilan; dan (9) menyimpulkan.<br />
<br />
Briggs dan Wager (1981) mengungkapkan bahwa tidak semua pelajaran /matapelajaran memerlukan sembilan urutan kegiatan tersebut. Sebagian matapelajaran-/matadiklat hanya menggunakan beberapa di antara sembilan urutan kegiatan tersebut, tergantung kepada karakteristik siswa dan jenis perilaku yang ada dalam tujuan instruksional. Pengurangan dari sembilan urutan tersebut masih dimungkinkan sepanjang alasan secara rasionalnya jelas.<br />
<br />
Strategi instruksional adalah suatu komponen sistem instruksional yang masih terbelakang. Ia masih belum berkembang seperti komponen-komponen lain. Kaitannya dengan komponen yang lain untuk membentuk suatu sistem belum kokoh benar. Dalam proses pengembangan instruksional, kaitan antara pengindentifikasikan TPU, analisis instruksional, TIK/TPK, dan tes misalnya telah tampak sedemikian ketat. Pengembangan setiap komponen tersebut pun telah sistematik. Tetapi, strategi instruksional sebagai salah satu komponen di samping tes yang akan menjadi dasar pengembangan atau pemilihan bahan belajar, masih perlu dikembangkan lebih jauh. Briggs dan Wager (1981) menjelaskan bahwa pngetahuan kita belum lengkap tentang urutan kegiatan instruksional yang sesuai untuk berbagai macam siswa dan tujuan. Penelitian dalam bidang ini masih terhitung langka.<br />
<br />
Dari penjelasan di atas, para ahli sepakat bahwa strategi instruksional berkenaan dengan pendekatan pengajaran dalam mengelola kegiatan instruksional untuk menyampaikan materi atau isi pelajaran secara sistematik, sehingga kemampuan yang diharapkan dapat dikuasai oleh siswa secara efektif dan efisien. Di dalamnya terkandung empat pengertian sebagai beriku:<br />
<br />
1. Urutan kegiatan instruksional, yaitu urutan kegiatan pengajar dalam menyampaikan isi pelajaran kepada siswa;<br />
<br />
2. Metode instruksional, yaitu cara guru mengorganisasikan materi pelajaran dan siswa agar terjadi proses belajar mengajar secara efektif dan efisien;<br />
<br />
3. Media instruksional, yaitu peralatan dan bahan instruksional yang digunakan pengajar dan siswa dalam kegiatan instruksional;<br />
<br />
4. Waktu yang digunakan oleh pengajar dan siswa dalam menyelesaikan setiap langkah dalam kegiatan instruksional.<br />
<br />
Dengan demikian, strategi instruksional merupakan perpaduan dari urutan kegiatan, cara pengorganisasian materi pelajaran dan siswa, peralatan dan bahan, serta waktu yang digunakan dalam proses instruksional untuk mencapai tujuan instruksional yang telah ditentukan. Dengan perkataan lain, strategi instruksional dapat pula disebut sebagai cara yang sistematik dalam mengkomunikasikan isi pelajaran kepada siswa untuk mencapai tujuan instruksional tertentu. Ia berkenaan dengan bagaimana (the how) menyampaikan isi pelajaran. Strategi instruksional lebih dari sekedar urutan kegiatan dan metode instruksional saja. Di dalamnya terkandung pula media instruksional dan pembagian waktu untuk setiap langkah kegiatan tersebut. Strategi instruksional yang disusun perlu didukung oleh teori-teori psikologi dan teori-teori instruksional serta bila strategi instruksional itu digunakan harus dapat membuat siswa mencapai tujuan instruksional yang telah ditentukan.<br />
<br />
Strategi instruksional yang pada dasarnya terbagi atas empat komponen utama yaitu: Urutan kegiatan instruksional, metode, media, dan waktu. Komponen utama yang pertama, yaitu kegiatan instruksional mengandung beberapa komponen yaitu pendahuluan, penyajian, dan penutup. Komponen Pendahuluan terdiri atas tiga langkah yaitu : (1) penjelasan singkat tentang isi pelajaran; (2) penjelasan relevansi isi pelajaran baru dengan pengalaman siswa; dan (3) penjelasan tentang tujuan instruksional. Komponen Penyajian terdiri atas tiga langkah, yaitu: (1) uraian; (2) contoh; dan (3) latihan. Komponen Penutup terdiri atas tiga langkah yaitu, (1) tes formatif; (2) umpan balik; dan (3) tindak lanjut<br />
<br />
Komponen utama yang kedua, yaitu metode instruksional, terdiri atas berbagai macam metode yang digunakan dalam setiap langkah pada urutan kegiatan instruksional. Setiap langkah tersebut mungkin menggunakan satu atau beberapa metode atau mungkin pula beberapa langkah menggunakan metode yang sama.<br />
<br />
Komponen utama yang ketiga, yaitu media instruksional, berupa media cetak atau media audiovisual yang digunakan pada setiap langkah pada urutan kegiatan instruksional. Seperti halnya penggunaan metode instruksional, mungkin beberapa media digunakan pada beberapa langkah. <br />
<br />
Komponen keempat strategi instruksional adalah waktu, yaitu jumlah waktu dalam menit yang dibutuhkan oleh guru dan siswa untuk menyelesaikan setiap langkah pada urutan kegiatan instruksional. Jumlah waktu yang dibutuhkan untuk mengajar, terbatas kepada waktu yang digunakan guru dalam pertemuan dengan siswa. Waktu untuk siswa adalah jumlah waktu yang digunakan dalam pertemuan dengan guru ditambah dengan waktu yang digunakan untuk melaksanakan tugas yang sehubungan dengan matapelajaran di luar pertemuan dengan guru. Menurut Suparman (1992) waktu yang dibutuhkan untu tahap pendahuluan sekitar 5-7% dari waktu pengajaran yang tersedia, untuk tahap penyajian waktunya sekitar 80-90% dari waktu kegaiatn belajar mengajar yang tersedia, dan untuk tahap penutup membutuhkan waktu sekitar 10-15% dari waktu pengajaran yang tersedia.<br />
<br />
Menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan siswa juga sangat penting artinya bagi berbagai pihak. Bagi siswa jumlah waktu merupakan petunjuk dalam mengelola waktu belajarnya. Bagi pengelola program pendidikan jumlah waktu yang dibutuhkan siswa merupakan petunjuk tentang bobot matapelajaran. Di perguruan tinggi misalnya, jumlah waktu yang dibutuhkan siswa untuk mempelajari suatu matapelajaran menunjukkan SKS (Satuan Kredit Semester) matapelajaran tersebut, 1 Sks setara 50 menit. <br />
<br />
Strategi instruksional perlu dikembangkan guru pada setiap pertemuan dalam matapelajaranmya seperti tertera dalam bentuk bagan pada Tabel 1 berikut ini. <br />
<br />
<br />
<br />
Tabel 1. Bagan Strategi Instruksional<br />
<br />
<br />
<br />
URUTAN KEGIATAN INSTRUKSIONAL METODE MEDIA WAKTU<br />
<br />
<br />
<br />
PENDAHULUAN Deskripsi singkat: <br />
<br />
Relevansi: <br />
<br />
TIK: <br />
<br />
<br />
<br />
PENYJIAN Uraian: <br />
<br />
Contoh: <br />
<br />
Latihan: <br />
<br />
<br />
<br />
PENUTUP<br />
<br />
Tes Formatif: <br />
<br />
Umpan Balik: <br />
<br />
Tindak Lanjut: <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
7. Mengembangkan Bahan ajar<br />
<br />
Bahan ajar ditulis berdasarkan strategi instruksional yang digunakan. Menulis bahan ajar berarti mengajarkan sesuatu matapelajaran melalui tulisan, dimana bahasa yang digunakan bukan bahasa buku teks yang bersifat sangat resmi atau formal, melainkan bahasa setengah formal dan setengah lisan. Ketika guru menulis bahan ajar, ia hendaknya membayangkan bahwa ia sedang memberi pengejaran tatap muka kepada seorang pembaca, seolah-olah sedang mengajak pembaca berbicara. Susunan tulisan dalam suatu bahan ajar sebaiknya mencerminkan strategi instruksional yang telah dipilih dan dirancang serta digunakan oleh guru tersebut.<br />
<br />
Panduan yang kira-kira dapat dipertimbangkan dalam menulis bahan ajar sebagai berikut. Bagian pendahuluan memuat: kerangka isi, tujuan instruksional, deskripsi singkat, relevansi, dan kata-kata kunci. Bagian isi (penyajian) memuat: judul, uraian atau penjelasan, ringkasan, dan latihan. Bagian penutup memuat: tes formatif, umpan balik, dan tindak lanjut. <br />
<br />
Bagian pendahuluan: (a) kerangka isi diletakkan pada setiap awal bab, berfungsi untuk memperlihatkan kaitan antara bab yang sedang dibahas dengan bab yang sebelumnya serta bab sesudahnya. Untuk memusatkan perhatian pembaca, bab yang sedang dibaca diberi tanda yang berbeda (umpamanya, kotak yang berbayang). (b) Tujuan, mengungkapkan kemampuan apa yang harus dimiliki oleh siswa setelah selesai mengikuti kegiatan belajar bab tersebut, tujuan harus ditulis operasional sehingga pencapaiannya mudah diukur. (c) Deskripsi singkat isi bab, ditulis dalam satu pragraf. Dengan membaca deskripsi tersebut siswa akan mendapatkan gambaran umum tentang keseluruhan isi bab yang sedang dibahas. (d) Relevansi isi bab, ditulis dalam satu pragraf untuk mengungkapkan kaitan antara isi bab yang sedang dipelajari dengan isi bab yang telah dipelajari sebelumnya dan kegunaannya dalam keseluruhan proses belajar serta kaitannya dengan dunia pekerjaan. (e) Kata-kata kunci, kata-kata kunci perlu didefenisikan dan dikemukakan dalam bagian ini.<br />
<br />
Bagian isi; bagian isi adalah daging suatu bab yang terdiri dari beberapa sub bagian, yaitu: (a) Judul. (b) Uraian atau penjelasan, secara terperinci tentang isi bab, yang diikuti dengan contoh konkrit dan non contoh, serta gambar dan grafik. Uraian dapat pula dimulai dengan contoh-contoh atau kasus-kasus kemudian baru diikuti dengan penjelasan tentang konsep yang dimaksud. (c) Ringkasan, dari konsep atau prinsip yang telah dipelajari. (d) Latihan, yang berisi kegiatan yang harus dilakukan siswa setelah membaca uraian di atas. Latihan ini berisi perintah yang harus dilakukan siswa dengan mengikuti petunjuk-petunjuk secara bertahap, langkah demi langkah. Tujuan latihan ini adalah agar siswa benar-benar menguasai konsep yang telah dibahas.<br />
<br />
Bagian penutup, adalah sub komponen terakhir dalam urutan kegiatan instruksional. (a) Tes formatif dan umpan balik, adalah seperangkat pertanyaan atau tugas untuk dikerjakan siswa untuk mengukur kemajuan belajar siswa (boleh tertulis atau lisan). Dilakukan setelah selesai mengikuti pembelajaran. Kemudian hasilnya diperiksa oleh guru, dan atas hasil yang dikerjakan siswa guru memberikan umpanbalik sebagai penegasan yang berguna untuk perbaikan. (b) Tindak lanjut, tentang apa yang akan ditugaskan kepada siswa setelah melakukan tes formatif dan umpanbalik. Misalnya meneruskan ke materi matapelajaran berikutnya, atau menambah untuk memperdalam, atau mengulang (remidial) yang sifatnya membantu untuk memperlancar kegiatan belajar berikutnya. <br />
<br />
<br />
<br />
8. Melaksanakan Evaluasi Formatif<br />
<br />
Setelah semua tahap perancangan sistem pembelajaran selesai dikembangkan, tahap berikutnya adalah melakukan evaluasi formatif terhadap keseluruhan kegiatan perancangan tersebut. Evaluasi formatif bertujuan untuk menentukan apa yang harus ditingkatkan atau direvisi agar produk tersebut lebih efektif dan efisien. Dalam proses pengembangan suatu produk instruksional, pelaksanaan evaluasi formatif adalah suatu keharusan. Hanya dengan cara itulah guru sebagai pengembang instruksional dapat merasa yakin bahwa sistem instruksional yang dikembangkannya akan efektif dan efisien di lapangan secara sesungguhnya nanti. <br />
<br />
Evaluasi formatif dapat dilakukan empat tahap, yaitu (1) Review oleh ahli bidang studi, ahli disain, ahli media, dan ahli bahasa di luar dari Tim pengembang instruksional tersebut. (2) Evaluasi satu-satu dilakukan antara pengembang instruksional dengan dua atu tiga siswa secara individual. Siswa yang dipilih adalah yang memiliki karakteristik seperti populasi sasaran. (3) Evaluasi kelompok kecil siswa yang representatif untuk mewakili populasi sasaran yang sebenarnya sebanyak 8-10 orang. (4) Ujicoba lapangan kepada sejumlah 15-30 orang siswa sepanjang telah mempunyai ciri yang sama atau mirip dengan populasi sasaran. <br />
<br />
Berdasarkan hasil evaluasi formatif yang diperoleh dari setiap tahapan evaluasi digunakan untuk memperbaiki produk sistem instruksional yang sedang dikembangkan. Setelah dilakukan revisi secara cermat atas kekuaranga-kekurang yang ada, maka produk sistem instruksional dapat digunakan ke kelompok populasi sasaran. Selanjutnya dilakukan tahap evaluasi sumatif untuk melihat keberhasilan siswa terhadap produk sistem instruksional yang diterapkan.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
F. Penutup <br />
<br />
. Dalam merancang pembelajaran banyak pilihan model pengembangan sistem pembelajaran yang dapat diacu oleh guru yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan kondisi yang ada. Di mana proses perancangan pembelajaran yang tepat membutuhkan beberapa kemampuan dari para perancang atau pengajar atau guru, seperti kemampuan menganalisis, mengembangkan dan mengevaluasi pembelajaran. Terwujudnya suatu kualitas pembelajaran yang baik, tidak hanya ditentukan oleh berbagai kemampuan yang dimiliki oleh guru, akan tetapi adanya kesadaran, kepedulian, perubahan sikap dan komitmen yang tinggi bagi para guru itu sendiri untuk melakukan pengembangan sistem pembelajaran dari matapelajaran yang diasuhnya terus-menerus apabila ingin meningkatkan hasil belajar siswa. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
<br />
<br />
Asep. S. (2009). ”Saudara kita yang terasing di Perkebunan”. www.prakarsa-rakyat.org.25/06/2009. <br />
<br />
AECT (1986). Definisi teknologi pendidikan. Jakarta: CV Rajawali. <br />
<br />
Burke, J. (1995). Competency based education and training. London: The Falmer Press.<br />
<br />
Degeng, Nyoman S. (1989). Ilmu Pengajaran: taksonomi variable. Jakarta: Depdikbud, Dikti, P2LPTK. <br />
<br />
Degeng, Nyoman S. (2000). “Desain Pembelajaran”. Materi Pelatihan Pekerti. Malang: Universitas Negeri Malang. <br />
<br />
Dick, W., & Carey, L. (1996). The Sistematic design of Instruction. Glenview, Illinois: Scott, Foresman and Company. <br />
<br />
Dick, W., Carey, L.,& Carey, J.O. (2005). The Sistematic Design of Instruction (7th Ed.). Boston: Allyn and Bacon. <br />
<br />
Gafur, Abdul (1982). Disain instruksional. Solo: Tiga Serangkai. <br />
<br />
Gagne, Robert M and Briggs, Leslie J. (1979). Principles of Instructional Design (2nd Ed.). New York: Holt, Rinehart and Winston.<br />
<br />
Gagne, Robert., Briggs, Leslie J. And Wager, Walter W. (1981). Handbook of Procedures for the Design of Instruction (2nd Ed.) Englewood Cliffs, New Jersey: Educational Technology Publications.<br />
<br />
Hamalik, Oemar (1989). Metodologi pengajaran ilmu pendidikan berdasarkan pendekatan kompetensi. Bandung: Mandar Maju<br />
<br />
Siompul, Harun. (2009). “Kompetensi Guru Dalam Mendesain Pembelajaran”. Makalah, disajikan pada seminar nasional peningkatan kompetensi guru dalam mewujudkan kualitas pendidikan nasional pada 25 April 2009 di Binjai. <br />
<br />
Miarso, Yusufhadi. (2004). Menyemai benih Teknologi pendidikan. Jakarta: Pustekom-Diknas.<br />
<br />
Kemp, Jerrold E (1994). Proses perancangan pengajaran. Bandung: ITB<br />
<br />
Harless, Joe (1975). Front-End Analysis. Training magazine of Man power and Managemen Developmen. March.<br />
<br />
Merril, M, David and Tennyson, Robert D. (1977). Teaching Concepts: An Instructional Design Guide. Englewood Cliffs, New Jersey: Educational Technology Publications.<br />
<br />
Miarso, Yusufhadi (1994). Survei model pengembangan instruksional. Jakarta: PAU-Depdikbud.<br />
<br />
“PLK kesulitan guru”. Spirit : media pendidikan khusus & pendidikan layanan khusus, Edisi 27 tahun IV, mei 2009. p.11. <br />
<br />
Prawiradilaga, D Salma (2007). Prisip Disain Pemelajaran (Instuctional Design Principles). Jakarta: Prenada Media Group.<br />
<br />
Hasnudi & Iskandar. ( ). Renstra Pembangunan perkebunan di Propinsi Sumatera Utara. Medan: USU. <br />
<br />
Sa’ud, Udin Saefudin. (2008). Inovasi pendidikan. Bandung: Alfabeta. <br />
<br />
Situmorang, R., Suparman, A., dan Susilana, R. (2004). Desain pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.<br />
<br />
Soekamto, Toeti (1993). Perancangan dan pengembangan sistem instruksional. Jakarta: Intermedia.<br />
<br />
Soekamto, Toeti dan Winaputra, Udin Saripudin (1996). Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: DIKTI, Depdikbud <br />
<br />
Suparman, Atwi (1992). Garis-Garis Besar Program Pengajaran Dan Satuan Acara Pengajaran. PAU-DIKTI, Depdikbud.<br />
<br />
Suparman, Atwi (1997). Disain instruksional. Jakarta: PAU-DIKTI Depdikbud.<br />
<br />
Uniknya masyarakat Perkebunan. http:/multiply.comIKATAN PENGEMBANG TEKNOLOGI PENDIDIKAN INDONESIAhttp://www.blogger.com/profile/15690844411253954621noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1063429453719024104.post-45797734818300356712010-02-19T01:35:00.000-08:002010-02-24T05:13:02.465-08:00Aneka Sumber Belajar<div align="justify"><span style="color: red;">PERENCANAAN DAN EVALUASI PEMBELAJARAN BERBASIS ANEKA SUMBER<br />
<br />
Prof. Dr. Abd. Hamid K , M.Pd<br />
(Dekan FT Unimed dan Ketua DPC IPTPI Sumut)</span><br />
<br />
<br />
<span style="color: red;">A. PENDAHULUAN<br />
Belajar berbasis aneka sumber (Bebas) adalah menjadi paradigma belajar saat ini, hal ini dilakukan agar pebelajar memperoleh berbagai pengalaman belajar sehingga terjadi perubahan dalam dirinya menuju ke arah yang lebih baik. Untuk itu, pebelajar (siswa/mahasiswa) harus sebanyak-banyaknya berinteraksi dengan sumber belajar. Dalam bidang pendidikan dan pelatihan kita merasakan adanya beberapa kecenderungan, yaitu: (1) bergesernya paradigma pendidikan dan pelatihan dari sistem yang berorientasi pada guru/dosen ke sistem yang berorientasi pada pebelajar. Seiring dengan ini akan terjadi pula pergeseran peran guru/dosen dan pebelajar dalam proses pembelajaran karena makin banyaknya tersedia sumber-sumber belajar alternatif, di samping guru/dosen, (2) tumbuh dan makin memasyarakatnya pendidikan terbuka/jarak jauh sebagai system pendidikan alternative yang memungkinkan proses pendidikan dan pembelajaran dilakukan secara lebih luas, efisien, efektif dan dapat diekses oleh siapa saja yang memerlukan tanpa pandang jenis kelamin, usia, tempat tinggal , status ekonomi maupun pengalaman pendidikan sebelumnya, (3) makin banyaknya pilihan sumber belajar yang tersedia sebagai dampak makin banyak dan mudahnya informasi diperoleh baik yang bermanfaat maupun tidak, (4) makin diperlukannya standar kualitas global dalam kerangka persaingan global. Sistem akreditasi antar lembaga pendidikan baik di dalam maupun luar negeri nampaknya akan semakin penting karena makin ramainya lalu lintas transfer kredit antar lembaga terutama perguruan Tinggi, (5) semakin diperlukannya pendidikan sepanjang hayat, sejalan dengan menipisnya batas antara masa sekolah dan masa berkerja disatu pihak dan berkembang atau berubahnya pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan dalam kehidupan di masyarakat.<br />
Kecenderungan-kecenderungan di atas secara perlahan namun pasti akan makin menampakkan wujudnya dalam kegiatan pembelajaran berkat terus berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi. Oleh karena itu, besar kecilnya kadar pendayagunaan teknologi komunikasi dan informasi dalam pembelajaran akan mempengaruhi seberapa cepat kecenderungan tersebut dalam dunia pendidikan. Berkaitan dengan ungkapan di atas, maka nampaknya guru/dosen merupakan tenaga pelaksana yang sangat menentukan. Di antara faktor-faktor lain, guru sebagai penggerak proses belajar mengajar memainkan peranan yang sangat besar. Tingkat keterlibatan pebelajar serta interaksi yang terjadi dalam proses belajar mengajar sangat tergantung pada guru, apakah ia mampu mengembangkan suatu sistem instruksional yang baik ataukah tidak. Guru yang profesional akan selalu secara swadaya menerapkan berbagai alternative pendekatan dalam pengelolaan proses belajar mengajar untuk menghasilkan suatu proses belajar mengajar yang inovatif dan lebih efisien.<br />
Upaya mengembangkan prosedur merancang pembelajaran amat penting dilakukan. Esensi rancangan adalah merancang seperangkat tindakan yang bertujuan untuk mengubah situasi yang ada ke situasi yang diinginkan. Dengan tidak mengesampingkan fungsi guru yang lain, jelaslah bahwa fungsi merancang pembelajaran merupakan fungsi yang sangat esensial karena pengelolaan dan evaluasi pembelajaran pada hakikatnya tergantung kepada rancangan pembelajaran yang telah dibuat guru. Belajar mengajar sebagai suatu proses merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan. Salah satu komponen di dalamnya adalah sumber belajar. Dalam usaha meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil pembelajaran, kita tidak boleh melupakan satu hal yang sudah pasti kebenarannya, yaitu bahwa pebelajar harus sebanyak-banyaknya berinteraksi dengan sumber belajar. Tanpa sumber belajar yang memadai sulit diharapkan dapat diwujudkan proses pembelajaran yang mengarah kepada tercapainya hasil belajar yang optimal. Dengan demikian penggunaan aneka sumber belajar dalam kegiatan pembelajaran mempunyai arti yang sangat penting. Selain melengkapi, memilihara, dan memperkaya proses pembelajaran sumber belajar berkedudukan untuk meningkatkan kegiatan akademik pebelajar.<br />
Dengan dimanfaatkannya aneka sumber belajar secara maksimal, pemahaman tidak akan terbatas pada apa yang diperolehnya melalui kegiatan tatap muka tetapi akan mampu menggali berbagai jenis ilmu pengetahuan terutama yang sesuai dengan bidang keahliannya, sehingga pengetahuannya senantiasa up to date dan mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang senantiasa berubah. Belajar tidak hanya terbatas menggunakan sumber belajar yang berupa bahan-bahan cetakan saja seperti buku yang hanya menekankan dimensi visual, tetapi lebih dari itu. Proses belajar dapat meliputi pemanfaatan semua indra kita secara total dan terpadu. Buku hanya sebagian dari sarana pembawa pesan kepada kita untuk kita pelajari karena masih banyak lagi sumber-sumber lain yang dapat dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan kualitas proses pembelajaran, misalnya audio, video, slide suara, overhead projector, internet, cd-rom dan lain-lain.<br />
Degeng (1990:81) menyatakan sumber belajar mencakup semua sumber yang mungkin dapat digunakan oleh pebelajar agar terjadi perilaku belajar. Lebih lanjut Degeng menyatakan bahwa peranan pokok sumber belajar dalam proses pembelajaran adalah “mentransmisi” rangsangan atau informasi kepada pebelajar. AECT (1977:9) mendefinisikan sumber belajar adalah meliputi semua sumber (data, orang, bahan dan alat) yang dapat digunakan oleh pebelajar dalam belajar baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah pebelajar dalam mencapai tujuan belajarnya. Dari apa yang dikemukakan di atas, dapat dirumuskan bahwa sumber belajar adalah segala hal yang dapat memberikan kemungkinan kepada seseorang memperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman, ketrampilan dalam proses. Hal ini menunjukkan adanya aneka ragam sumber belajar yang masing-masing mempunyai kegunaan tertentu yang mungkin sama atau bahkan berbeda dengan sumber belajar yang lainnya. Pada hakikatnya tidak ada satu sumber belajarpun yang dapat memenuhi segala macam keperluan. Dengan demikian, berbicara mengenai sumber belajar perlu diartikan dalam arti yang jamak dan beraneka ragam serta pemilihan sumber belajar perlu dikaitkan dengan sasaran yang ingin dicapai dalam kegiatan belajar.<br />
<br />
B. KLASIFIKASI SUMBER BELAJAR<br />
Pembuatan klasifikasi sumber belajar dapat didekati dari peranan sumber belajar dalam pembelajaran, atau dari tingkat keabstrakan/kekonkritan suatu media atau juga dari struktur belajar mengajar dimana sumber belajar itu dipakai. AECT (1977) membedakan sumber belajar menjadi dua jenis, yakni (1) sumber belajar yang direncanakan (by design), yaitu semua sumber yang secara khusus telah dikembangkan sebagai “komponen system instruksional” untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal, (2) sumber belajar yang dimanfaatkan (by utilization), yaitu sumber-sumber yang tidak secara khusus di desain untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan, diaplikasikan, dan digunakan untuk keperluan belajar.<br />
Peranan pokok sumber belajar dalam proses pembelajaran adalah “mentransmisi” rangsangan atau informasi kepada pebelajar. Ungkapan “transmisi” dalam konteks ini punya dimensi banyak dan dapat dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan ini amat berguna sebagai alat bantu mengorganisasi dimensi sumber belajar. Kemp (1985:139) mengklasifikasi sumber belajar dengan menggunakan pendekatan bentuk belajar-mengajar, kelas besar, kelompok kecil, dan belajar sesuai dengan kecepatan pebelajar secara perseorangan. Lebih lanjut menurut Kemp pemilihan suatu sumber belajar didasarkan pada karakteristik tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan karakteristik isi bidang studi yang ingin dipelajari. Di samping faktor-faktor lain seperti tersedia tidaknya media itu dan mampu tidaknya dosen/guru menggunakannya.<br />
Klasifikasi manapun yang dipilih dapat dipakai sebagai penuntun dalam menetapkan strategi penyampaian pembelajaran. Sebenarnya ada dua variable yang mempengaruhi pemilihan strategi penyampaian pembelajaran, yaitu karakteristik bidang studi dan tersedia tidaknya sumber belajar. Karakteristik bidang studi perlu menjadi pertimbangan khusus ketika memilih media pembelajaran yang akan digunakan menyampaikan pembelajaran. Terutama dikaitkan dengan tingkat kecermatan suatu media dalam menyampaikan pembelajaran, kemampuan khusus yang dimiliki oleh suatu media serta pengaruh motivasional yang mampu ditimbulkannya.<br />
<br />
C. PERENCANAAN PEMBELAJARAN ANEKA SUMBER<br />
Pembelajaran atau pengajaran ungkapan yang lebih dikenal sebelumnya adalah “upaya untuk membelajarkan siswa (pebelajar)”. Dalam batasan ini secara implicit terlihat bahwa dalam pembelajaran ada kegiatan memilih, menetapkan, dan mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode ini didasarkan pada kondisi pembelajaran yang ada. Kegiatan ini pada dasarnya merupakan inti perencanaan (design) pembelajaran.<br />
Ungkapan pembelajaran dipakai karena lebih tepat menggambarkan upaya untuk membangkitkan prakarsa belajar pebelajar. Di samping itu, ungkapan pembelajaran memliki makna yang lebih dalam untuk mengungkapkan hakikat perencanaan (disain) upaya membelajarkan pebelajar. Dalam belajar, pebelajar tidak hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar yang mungkin dipakai untuk mencapai hasil yang diinginkan. Pembelajaran menaruh perhatian pada “bagaimana membelajarkan siswa, bukan apa yang dipelajari siswa”. Pembelajaran lebih menekankan pada cara-cara untuk mencapai tujuan ini, yaitu berkaitan dengan bagaimana cara mengorganisasi isi pembelajaran, menyampaikan isi pembelajaran, dan mengelola pembelajaran. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa kajian inti dari pembelajaran adalah penetapan metode pembelajaran yang optimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.<br />
Bagaimanapun juga secara umum pemilihan, penetapan dan pengembangan variable metode pembelajaran haruslah berpijak pada 4 hal penting, yang dikelompokkan ke dalam variable kondisi pembelajaran, yaitu (1) apa tujuan yang ingin dicapai, (2) apa isi yang harus dipelajari untuk mencapai tujuan, (3) apa sumber belajar yang tersedia, dan (4) bagaimana karakteristik pebelajar. Tanpa pijakan ini, kecil sekali kemungkinan untuk dapat mengembangkan metode pembelajaran yang optimal. Dengan ungkapan lain, pengembangan metode pembelajaran yang optimal haruslah didahului dengan kegiatan analisis kondisi pembelajaran.<br />
Pada hakikatnya, pembelajaran memiliki unsur-unsur yang saling terkait dan menunjang dalam pencapian hasil. Itulah sebabnya pembelajaran disebut juga sebagai sistem. Komponen utamanya adalah pengembangan, pelaksanaan kegiatan, dan evaluasi pembelajaran. Pada saat ini telah banyak model-model desain pembelajaran yang dikembangkan para ahli yang dapat digunakan sebagai panduan atau kerangka acuan untuk merancang program pembelajaran maupun untuk mengembangkan suatu sistem pembelajaran, seperti model Briggs, model Banathy, model Kemp, model PPSI, model Gerlach dan Ely, model IDI, model Dick dan Carey, model Degeng dan lain-lain. Berikut ini dapat dikemukakan langkah-langkah perencanaan (desain) pembelajaran model Degeng (1990):<br />
Analisis Tujuan dan Karakteristik isi bidang studi<br />
Pengukuran Hasil Pembelajar-an<br />
<br />
<br />
Penetapan Strategi Pengelolaan<br />
Penetapan tujuan Belajar dan Isi Bidang Studi<br />
Analisis sumber Belajar<br />
Analisis Karakteristik Pebelajar<br />
Penetapan Strategi Penyampaian<br />
Penetapan Strategi Pengorganisasian<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
GBR. MODEL DESAIN PEMBELAJARAN “DEGENG”<br />
<br />
<br />
1. Analisis tujuan pembelajaran dan karakteristik bidang studi<br />
Analisis Tujuan pembelajaran dan karakteristik isi bidang studi perlu dilakukan pada tahap awal kegiatan perancangan pembelajaran.. Langkah ini dilakukan untuk mengetahui tujuan pembelajaran apa yang diharapkan dikuasai pebelajar setelah menyelesaikan satu matapelajaran tertentu. Sebagai tujuan akhir dari suatu kemampuan yang utuh dari domain-domain tertentu (pengetahuan, ketrampilan, atau sikap). Tujuan pembelajaran sebagai suatu kemampuan yang utuh adalah hasil sintesis dari beberapa kemampuan khusus (dasar). Analsisis karakteristik isi bidang studi dilakukan untuk mengetahui tipe isi bidang studi apa yang akan dipelajari pebelajar. Apakah berupa fakta, konsep, prinsip, atau prosedur. Demikian juga untuk mengetahui bagaimana struktur isi bidang studinya. Artinya, bagaimana struktur orientasi dan struktur pendukung isi bidang studi yang akan dipelajari pebelajar. Merril (1979) mengkalsifikasi tipe isi bidang atas: fakta, konsep, prinsip, dan prosedur,dan mengklasifikasi unjuk kerja atas: mengingat, menggunakan dan menemukan.<br />
1. Analisis sumber belajar<br />
Analsisis sumber belajar dilakukan segera setelah langkah analisis tujuan dan karakteristik bidang studi. Langkah ini dimaksudkan untuk mengetahui sumber-sumber belajar apa yang tersedia dan dapat digunakan untuk menyampaikan isi pembelajaran. Hasil dari kegiatan ini akan berupa daftar sumber belajar yang tersedia yang dapat mendukung proses pembelajaran. Langkah ini juga disebut dengan analisis kendala, yaitu analisis untuk mengetahui keterbatasan-keterbatasan sumber-sumber belajar termasuk pula keterbatasan waktu dan dana. Analsisis ini akan amat bermanfaat dalam mempreskripsikan startegi penyampaian isi pembelajaran yang optimal. Kendala didefenisikan sebagai keterbatasan sumber-sumber belajar, termasuk pula keterbatasan waktu dan dana. Bagaimanapun juga strategi penyampaian yang dipilih dan akan dilaksanakan, mau atau tidak harus mempertimbangkan variable ini. Adalah tidak masuk akal memilih suatu strategi penyampaian yang tidak didukung oleh sumber-sumber belajar.<br />
Di samping faktor tersedianya sumber belajar, keterbatasan waktu juga perlu diperhatikan. Factor ini amat menentukan berhasil tidaknya penggunaan suatu strategi. Realisasi dari faktor ini akan nampak sekali dalam penyediaan sumber-sumber belajar. Faktor lain yang termasuk kelompok kendala adalah waktu. Keterbatasan waktu banyak memepengaruhi pemilihan strategi penyampaian. Beberapa media pembelajaran, atau kegiatan belajar tertentu, atau penstrukturan kelas membawa konsekuensi khusus pada alokasi waktu belajar. Menyampaikan pembelajaran dengan menggunakan media film, umpamanya membutuhkan waktu lebih singkat dari pada mengamati langsung suatu proses kegiatan. Kegiatan-kegiatan belajar yang bersifat menerima, membutuhkan waktu lebih singkat daripada kegiatan-kegiatan belajar yang bersifat menemukan. Menyampaikan pembelajaran kepada kelompok besar lebih menghemat waktu dari pada kelompok-kelompok kecil, atau kepada perseorangan.<br />
Ada beberapa persyaratan yang perlu diketahui oleh guru/dosen dalam memanfaatkan berbagai sumber belajar, antara lain:<br />
Tujuan pembelajaran hendaknya dijadikan pedoman dalam memilih sumber belajar.<br />
Pokok-pokok bahasan yang menjelaskan analisis isi bidang studi yang akan disajikan kepada pebelajar. Hal itu perlu dilakukan sebagai dasar pemilihan serta pemanfaatan sumber belajar agar materi yang disajikan melalui sumber-sumber belajar dapat memperjelas dan memperkaya isi bahan.<br />
Pemilihan strategi penyampaian pembelajaran yang sesuai dengan sumber belajar. Strategi sangat erat kaitannya dengan sumber belajar bahkan sesungguhnya strategi itu termasuk ke dalam salah satu jenis sumber belajar.<br />
Sumber-sumber belajar yang dirancang berupa media pembelajaran dan bahan tertulis yang tidak dirancang.<br />
Pengaturan waktu sesuai dengan luas pokok bahasan yang akan disampaikan kepada pebelajar. Waktu yang diperlukan untuk menguasai materi tersebut akan mempengaruhi sumber belajar yang dipergunakan.<br />
Bentuk evaluasi yang akan digunakan.<br />
<br />
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hasil akhir dari analisis sumber belajar adalah berupa daftar sumber belajar yang tersedia dan dapat dipakai untuk keperluan pembelajaran. Langkah-langkah berikut ini perlu diperhatikan:<br />
a. Pilih klasifikasi sumber belajar<br />
b. Gunakan klasifikasi ini untuk mengidentifikasi sumber-sumeber belajar yang tersedia di lingkungan dimana pembelajaran itu akan dilaksanakan<br />
c. Analisisis kualitas dan kuantitas sumber belajar. Analisis kualitas dilakukan berdasarkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan karakteristik bidang studi yang akan dipelajari pebelajar. Analisis kualitas dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kecermatan media untuk menyampaikan isi. Kemampuan-kemampuan khusus yang mampu ditampilkan suatu media, serta pengaruh motivasional yang mampu ditampilkannya.<br />
d. Buat daftar sumber belajar yang siap dipakai. Daftar ini hanya memuat sumber-sumber belajar yang benar-benar akan dipakai sebagai media untuk menyampaikan isi pembelajaran.<br />
<br />
2. Analisis karakteristik pebelajar<br />
Menganalisis karakteristik pebelajar dimaksudkan untuk mengetahui cirri-ciri perseorangan pebelajar. Beberapa yang termasuk di dalamnya adalah bakat, kematangan tingkat berpikir, motivasi, dan kemampuan awalnya. Hasil dari langkah ini akan berupa daftar yang memuat pengelompokkan karakteristik pebelajar. Karakteristik pebelajar ini sangat berguna sebagai pijakan dalam pemilihan strategi pengelolaan pembelajaran yang optimal. Ini dilakukan karena karakteristik pebelajar amat penting perannya dalam meningkatkan kebermaknaan pembelajaran yang selanjutnya membawa dampak dalam memudahkan proses-proses internal yang berlangsung dalam diri pebelajar ketika belajar. Langkah-langkah berikut dapat dgunakan untuk melakukan analisis karakteristik Pebelajar, yaitu:<br />
a. Melakukan pengamatan kepada pebelajar secara perorangan. Pengamatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan tes kemampuan awal, angket dan wawancara.<br />
b. Tabulasi karakteristik perseorangan pebelajar. Hasil pengamatan yang dilakukan pada langkah pertama ditabulasi untuk mendapat klasifikasi dan rinciannya. Hasil tabulasi akan dapat dipakai untuk membuat daftar klasifikasi karakteristik yang menonjol yang perlu diperhatikan dalam penetapan strategi pengelolaan.<br />
c. Pembuatan daftar karakteristik pebelajar. Daftar karakteristik pebelajar perlu dibuat sebagai dasar menentukan stratgei pengelolaan pembelajaran. Perlu diperhatikan dalam pembuatan daftar ini adalah bahwa daftar haruslah selalu disesuaikan dengan kemajuan-kemajuan belajar yang dicapai pebelajar secara perseorangan.<br />
<br />
<br />
3. Menetapkan Tujuan dan Isi Pembelajaran<br />
Menetapkan tujuan belajar dan isi pembelajaran ini sebenarnya sudah dapat dilakukan segera setelah melakukan analisis tujuan (standar kompetensi) dan karakteristik isi bidang studi. Hasil dari langkah ini akan berupa daftar yang memuat tujuan khusus pembelajaran (sering juga disebut tujuan belajar, atau istilah sekarang dapat disebut dengan kemampuan dasar), dan tipe serta struktur isi yang akan dipelajari pebelajar untuk mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan. Tujuan pembelajaran ini amat bermanfaat untuk mempreskripsikan strategi pengorganisasian pembelajaran tingkat mikro. Tujuan khusus inilah yang akan memberi arah isi bidang studi apa yang akan disajikan dan sekaligus bagaimana mengorganisasinya.<br />
<br />
4. Menetapkan strategi pengorganisasian isi<br />
Menetapkan strategi pengorganisasian pembelajaran segera dapat dilakukan setelah analisis dan penetapan tipe serta karakteristik isi pembelajaran. Pemilihan strategi pengorganisasian pembelajaran amat dipengaruhi oleh apa tipe isi bidang studi yang dipelajari dan bagaimana struktur isi itu. Hasil dari langkah ini akan berupa penetapan model untuk mengorganisasi isi bidang studi, baik tingkat makro maupun mikro. Strategi pengorganisasian makro diacukan untuk menata keseluruhan isi bidang studi, dan startegi pengorganisasian mikro diacukan untuk menata sajian suatu konsep, atau prinsip, atau prosedur.<br />
<br />
5. Menetapkan strategi penyampaian pembelajaran<br />
Menetapkan startegi penyampaian pembelajaran didasarkan pada hasil analisis sumber belajar. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa hasil analisis sumber belajar akan berupa daftar sumber belajar yang tersedia dan dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Pada langkah ini daftar yang sudah dibuat tersebut dijadikan dasar dalam memilih dan menetapkan strategi penyampaian pembelajaran. Hasil kegiatan dalam langkah ini akan berupa penetapan model untuk menyampaikan isi pembelajaran. Banyak model-model untuk menyampaikan isi pembelajaran ini, di antaranya model pembelajarn aktif, pembelajaran mandiri, pembelajaran kooperatif dan kolaboratif, pembelajaran discovery, pembelajaran berbasis masalah, dan lain-lain. Strategi penyampaian pembelajaran mengacu kepada cara-cara yang dipakai untuk menyampaikan pembelajaran kepada pebelajar, dan sekaligus untuk menerima serta merespon masukan-masukan dari pebelajar. Oleh karena fungsinya seperti ini, maka strategi ini juga dapat disebut sebagai metode untuk melaksanakan proses pembelajaran. Metode pembelajaran berfungsi untuk sebagai cara dalam menyajikan isi pelajaran kepada pebelajar untuk mencapai tujuan tertentu. Berbagai metode dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran, di antaranya yaitu metode ceramah, metode demonstrasi, metode penampilan, metode diskusi, metode studi mandiri, metode latihan, metode simulasi, metode sumbang saran, metode studi kasus, metode computer assted learning, metode praktikum, metode proyek, metode bermain peran, metode seminar, dan sebagainya.<br />
Gagne dan Briggs (1979) menyebut strategi ini dengan delivery system, yang didefinisikan sebagai “ the total of all components necessary to make an instructional system operate as intended”. Dengan demikian, strategi penyampaian mencakup lingkungan fisik, guru, bahan-bahan pembelajaran, dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pembelajaran. Dengan ungkapan lain, media merupakan satu komponen penting dari strategi penyampaian pembelajaran. Paling tidak ada 3 komponen yang perlu diperhatikan dalam mempreskripsikan strategi penyampaian, yaitu media pembelajaran, interaksi peblajar dengan media , dan bentuk (struktur ) belajar mengajar.<br />
Media pembelajaran adalah komponen startegi penyampaian yang dapat dimuati pesan yang akan disampaikan kepada pebelajar, apakah itu, orang, alat atau bahan. Martin dan Briggs (1986) mengemukakan bahwa media pembelajaran mencakup semua sumber yang diperlukan untuk melakukan komunikasi dengan pebelajar. Ini dapat berupa perangkat keras, seperti computer, televise, proyektor, dan perangkat lunak yang digunakan pada perangkat-perangkat keras itu. Dengan menggunakan batasan Martin dan Briggs, guru juga termasuk media pembelajaran sehingga merupakan bagian dari kajian strategi penyampaian. Bentuk interaksi antara pebelajar dengan media merupakan komponen penting kedua untuk mempreskripsikan strategi penyampaian. Komponen ini penting karena uraian mengenai strategi penyampaian tidaklah lengkap tanpa memberi gambaran tentang pengaruh apa yang dapat ditimbulkan oleh suatu media pada kegiatan belajar pebelajar. Itulah sebabnya komponen ini lebih menaruh perhatian pada kajian mengenai kegiatan belajar apa yang dilakukan oleh pebelajar dan bagaimana peranan media untuk merangsang kegiatan-kegiatan itu. Kegiatan belajar yang dapat dilakukan seorang pebelajar untuk mencapai tujuan khusus (kemampuan dasar) yang telah ditetapkan banyak sekali ragamnya. Mulai dari kegiatan yang paling dasar, seperti membaca, mendengarkan, menulis, sampai kepada kegiatan-kegiatan yang jauh lebih kompleks yang mengintegrasikan kegiatan-kegiatan dasar tersebut, seperti mengerjakan tugas, sajian kelas, membuat laporan, diskusi dan sebagainya. Hasil belajar terjadi dalam diri pebelajar ketika mereka berinteraksi dengan media, karena itu tanpa media belajar tidak akan pernah terjadi.<br />
Struktur belajar mengajar atau pola kegiatan belajar mengajar juga merupakan dasar dalam memilih strategi penyampaian pembelajaran. Menurut Ely (1979) pada dasarnya ada tiga macam pola dasar kegiatan belajar mengajar ditinjau dari segi jumlah pebelajar yang belajar, yaitu pembelajaran untuk group besar 30 orang atau lebih, pembelajaran untuk group kecil 5- 15 orang, dan pembelajaran individual 1- 3 orang. Cara-cara untuk menampilkan pembelajaran ini lebih mengacu kepada komponen media dan interaksi media dengan pebelajar. Penyampaian pembelajaran dengan ceramah misalnya menuntut penggunaan media guru, dan dapat diselenggarakan dalam kelas besar. Penyampaian pembelajaran dalam kelas besar menuntut penggunaan media yang berbeda dari kelas kecil. Demikian juga untuk pembelajaran perseorangan dan belajar mandiri.<br />
.<br />
6. Menetapkan strategi pengelolaan<br />
Menetapkan strategi pengelolaan pembalajaran amat tergantung pada hasil analisis karakteristik pebelajar. Klasifikasi karakteristik pebelajar yang dibuat ketika melakukan analisis karakteristik dijadikan sebagai dasar memilih dan menetapkan strategi pengelolaan. Langkah ini sudah dapat dikerjakan segera setelah selesai melakukan analisis karakteristik pebelajar. Hasil dari langkah ini akan berupa model strategi pengelolaan yang meliputi penjadualan kegiatan belajar mengajar, pengelolaan motivasional, pembuatan catatan tentang kemajuan belajar siswa, dan penetapan kontrol belajar.<br />
Strategi pengelolaan pembelajaran berurusan dengan bagaimana menata interaksi antara pebelajar dengan strategi-strategi pembelajaran lainnya, yaitu strategi pengorganisasian dan strategi penyampaian pembelajaran. Lebih khusus, strategi pengelolaan berkaitan dengan penetapan kapan suatu startegi atau komponen suatu tepat dipakai dalam suatu situasi pembelajaran. Penjadualan penggunaan strategi pembelajaran mengacu kepada kapan dan berapakali suatu strategi pembelajaran atau komponen strategi pembelajaran dipakai dalam suatu situasi pembelajaran. Pembuatan catatan kemajuan belajar pebelajar mengacu kepada kapan dan berapa kali penilaian hasil belajar dilakukan, serta bagaimana prosedur penilaiannya. Pengelolaan motivasional mengacu kepada cara-cara yang dipakai untuk meningkatkan motivasi belajar pebelajar. Kontrol belajar mengacu kepada kebebasan pebelajar dalam melakukan pilihan tindakan belajar.<br />
<br />
7. Pengukuran hasil belajar<br />
Langkah terakhir dari disain pembelajaran model ini adalah melakukan pengukuran hasil belajar, yang mencakup pengukuran tingkat keefektifan, efisiensi dan daya tarik pembelajaran. Kegiatan ini dilakukan mengadakan pengamatan proses pembelajaran dan hasil belajar. Hasil kegiatan ini akan berupa bukti mengenai tingkat keefektifan, efisiensi, dan daya tarik pembelajaran. Keefektifan pembelajaran biasanya diukur dengan tingkat pencapaian pebelajar pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Efesiensi biasanya diukur dengan rasio antara keefektif dan jumlah waktu dan/atau biaya yang terpakai. Daya tarik pembelajaran biasanya diukur dengan mengamati kecenderungan pebelajar untuk tetap dan terus belajar.<br />
<br />
D. EVALUASI PEMBELAJARAN BERBASIS ANEKA SUMBER<br />
Evaluasi pembelajaran menempati yang sangat strategis dalam proses belajar mengajar. Sedemikian penting evaluasi ini sehingga tidak ada satupun usaha untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran yang dapat dilakukan dengan baik tanpa disertai langkah evaluasi. Dalam hal ini setidak-tidaknya ada tiga manfaat evaluasi dalam pembelajaran, yaitu (1) memahami sesuatu, (2) membuat keputusan, dan (3) meningkatkan kualitas pembelajaran./<br />
Sedikitnya ada 4 hal yang perlu kita perhatikan dalam memilih atau mengevaluasi sumber belajar yang digunakan, yaitu kesesuaian sumber belajar dengan tujuan pembelajaran, kesesuaian sumber belajar dengan jenis pengetahuan, kesesuaian sumber belajar dengan sasaran, dan kemudahan memperoleh sumber belajar.<br />
<br />
1. Kesesuaian sumber belajar dengan tujuan<br />
Setiap tujuan pembelajaran pada hakikatnya membutuhkan sumber belajar tertentu untuk mencapainya. Untuk itu dalam menentukan sumber belajar harus mengacu kepada kata kerja yang digunakan sebagai indikatornya. Adapun yang perlu dihindari adalah jangan sampai kita mengganti tujuan yang akan dicapai karena keterbatasan dalam penggadaan media. Namun untuk mengantisifasi kemungkinan tersebut dianjurkan membuat alternative pemilihan media yang lain. Dengan demikian apabila sumber belajar yang diprioritaskan sulit memperolehnya atau menyediakannya, maka dianjurkan untuk menggunakan alternative berikutnya. Pemilihan media yang mengacu pada tujuan khusus pembelajaran atau kemampuan dasar juga memungkinkan digunakannya beraneka ragam sumber belajar dalam setiap kegiatan pembelajaran. Hal ini dikarenakan dalam setiap kegiatan pembelajaran ada beberapa kemampuan dasar yang akan dicapai, dan setiap kemampuan dasar menuntut sumber belajar yang berbeda.<br />
<br />
2. Kesesuaian sumber belajar dengan jenis pengetahuan.<br />
Pemilihan media dapat pula dilakukan berdasarkan kesesuaian media dengan jenis pengetahuan. Misalnya untuk pengetahuan yang bersifat verbal akan efektif bila menggunakan program kaset audio. Untuk pengetahuan yang bersifat factual akan lebih efektif bila menggunakan film, video atau media visual lainnya. Demikian juga halnya dengan pengetahuan yang berupa proses atau prosedural, media film atau televisi (visual gerak) akan lebih baik bila dibandingkan dengan media visual diam, seperti slide seri, OHT, foto, dan sebagainya. Kesesuaian sumber belajar dengan jenis pengetahuan secara konseptual isi bidang studi dibagi dalam beberapa jenis pengetahuan, verbal, visual, konsep, prinsip, proses, prosedural dan sikap. Setiap jenis pengetahuan membutuhkan sumber belajar tertentu untuk mencapainya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tidak ada satupun media yang cocok untuk semua jenis pengetahuan.<br />
<br />
3. Keseuaian sumber belajar dengan sasaran (pebelajar).<br />
Efektifitas suatu media akan tercapai bila penggunaanya disesuaikan dengan karakteristik pebelajar. Oleh karena itu pada saat memilih sumber belajar, selain memperhatikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai juga harus mengetahui secara tepat, siapa yang menjadi sasaran. Misalnya media televisi yang dirancang untuk tujuan tertentu, bisa tidak efektif bila digunakan untuk sasaran yang belum terbiasa dengan media tersebut. Karakteristik sasaran merupakan bahan pertimbangan dalam pemilihan media yang tepat.<br />
<br />
4.Kemudahan memperoleh sumber belajar<br />
Ada satu hal yang harus diingat dalam memilih sumber belajar, yaitu betapun bagusnya sesuatu media jika tidak mungkin untuk diadakan, maka tidak ada artinya. Untuk itu sebaiknya pilihlah sumber belajar yang mudah mendapatkannya, namun tetap efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Beberapa pertimbangan yang dapat digunakan untuk memilih suatu sumber belajar adalah memanfaatkan sumber belajar yang telah ada (termasuk lingkungan), melakukan modifikasi dan pengadaan suatu media baru. Pemilihan media sebagai sumber belajar adalah bagian penting dalam proses pembelajaran, sebab hanya media yang sesuai dengan tujuan, materi, dan karakteristik pebelajar yang akan memberikan hasil yang efektif.<br />
Implementasi pembelajaran berbasis aneka sumber membawa implikasi terhadap model dan teknik penilaiaan yang dilaksanakan. Penilaian yang digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran aneka sumber adalah asesmen otentik. Penilaian atau asesmen otentik diartikan sebagai proses penilaian kinerja perilaku pebelajar secara multi-dimensional pada situasi nyata. Sedangkan asesmen kinerja secara sederhana didefenisikan sebagai penilaian terhadap proses perolehan, penerapan pengetahuan dan ketrampilan, melalui proses pembelajaran yang menunjukkan kemampuan pebelajar dalam proses maupun produk.. Karakteristik utama penilaian tidak hanya mengukur hasil belajar pebelajar (achievement), tetapi secara lengkap memberi informasi yang lebih jelas tentang proses pembelajaran.<br />
Berbeda dengan pengukuran hasil belajar, penilaian sangat terkait dengan teori belajar. Salah satu teori belajar yang perlu diperhatikan adalah experiential learning yang dikembangkan oleh Rogers (1969). Teori ini membedakan dua jenis belajar yaitu cognitive learning yang berhubungan dengan pengetahuan akademik dan experiential learning yang berhubungan pengetahuan terapan. Teori ini menarik karena memperkenalkan konsep experiential learning yang ditandai oleh adanya keterlibatan pribadi, inisiatif diri, evaluasi diri, dan dampak langsung yang terjadi pada diri pebalajar dalam proses belajar. Oleh karena itu, menurut Rogers experiential learning merupakan landasan yang kuat bagi pertumbuhan dan perubahan pribadi. Teori ini menyimpulkan bahwa belajar harus dilakukan oleh pebelajar, sedangkan guru/dosen hanya sebagai fasilitator. Tugas pokok guru/dosen adalah menciptakan lingkungan belajar yang baik, membantu pebelajar merumuskan tujuan belajar, menyeimbangkan pertumbuhan intelektual dengan pertumbuhan emosional, menyediakan sumber belajar, berbagi rasa serta pemikiran dengan pebelajar dalam belajar tetapi tidak mendominasi.<br />
Selama ini dalam penilaian pembelajaran hanya menilai pada satu kemampuan pokok yang disebut aspek kognitif. Saat ini terjadi perubahan sehingga dari satu aspek menjadi multi aspek. Aspek-aspek tersebut didasarkan pada teori kemampuan multiple dari Howard Gardener sejak pertengahan tahun 1980-an. Secara jelas Gardner menunjukkan adanya kelemahan pada sekolah yang hanya melakukan asesmen pada dua kemampuan dasar manusia saja yaitu kemampuan logical –mathematical dan verbal-linguistc, sedangkan kemampuan-kemampuan lain ditinggalkan. Dalam multiple-intellegent yang dikemukakan oleh Gardner setidak-tidaknya ada tujuh kemampuan dasar, (1) visual-spatial, (2) bodily-kinesthetic, (3) musical-rythmical, (4) interpersonal, (5) intrapersonal, (6) logical-matthematical, dan (7) verbal-linguistik. Teori ini memperlihatkan secara jelas bahwa asesmen hasil maupun proses belajar tidak hanya mengukur salah satu atau beberapa aspek kemampuan pebelajar tetapi harus mengukur seluruh aspek kemampuan pebelajar sehingga tertutup kemungkinan bahwa asesmen hanya dilakukan melalui tes baku..<br />
Penilaian otentik merupakan suatu kegiatan guru yang terkait dengan pengambilan keputusan tentang pencapaian kompetensi atau hasil belajar pebelajar yang mengikuti proses pembelajaran tertentu. Untuk itu diperlukan data sebagai informasi yang diandalakan sebagai dasar pengambilan keputusn. Keputusan tersebut berhubungan dengan sudah atau belum berhasilnya pebelajar dalam mencapai suatu kompetensi. Data yang diperoleh guru selama pembelajaran berlangsung dapat dijaring dan dikumpulkan melalui prosedur dan alat penilaian yang sesuai dengan kompetensi atau hasil belajar yang akan dinilai, penilaian kelas atau otentik lebih merupakan proses pengumpulan dan penggunaan informasi oleh guru untuk memberikan keputusan, dalam hal ini nilai terhadap hasil belajar pebelajar berdasarkan tahapan belajarnya. Dari proses ini, diperoleh potret/profil kemampuan pebelajar dalam mencapai sejumlah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tercantum dalam kurikulum. Penilaian kelas merupakan satu proses yang dilakukan melalui langkah-langkah perencanaan, penyusunan alat penilaian, pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar pebelajar, pengelohan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar pebelajar. Penilaian kelas dilaksanakan melalui berbagai cara, seperti penilaian untuk kerja (performance), penilaian sikap, penilaian tertulis (paper and pencil test), penilaian proyek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil kerja/ karya pebelajar (portfolio), dan penilaian diri. Dalam menilai kinerja pebelajar tersebut, perlu disusun kreteri yang dapat disepakati terlebih dahulu. Kriteria yang menyeluruh disebut rubric. Dengan demikian wujud asesmen outentik yang utama adalah task dan rubric. Selanjutnya task diartikan sebagai tugas, rubric( rubrik) diartikan sebagai kriteria penilaian.<br />
<br />
E. PENUTUP<br />
Peruahan paradigma pembelajaran terjadi dari berfokus pada penguasaan isi matapelajaran menjadi berfokus pada pengalaman belajar yang berorientasi pada proses pemerolehan pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai. Sehubungan dengan pesatnya perkembangan dan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era informasi ini, para pendidik perlu menyadari sepenuhnya bahwa tugas pokoknya dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah adalah “upaya membelajarkan pebelajar bagaimana belajar”. Dalam belajar pebelajar tidak hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar tetapi mencakup interaksi dengan semua sumber belajar yang mungkin dipakai untuk mencapai hasil yang diinginkan. Belajar dapat terjadi pada diri seseorang dari apa yang ia lakukan dan dari apa yang dia alami sebagai akibat dari apa yang dilakukannya. Di samping itu, seseorang juga dapat belajar dari pengalaman orang lain yang diekspresikannya melalui symbol-simbol. Jadi dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang erat antara belajar dan kegiatan yang dilakukan pebelajar dalam memberi makna terhadap apa yang ia lakukan. Oleh karena itu, tugas pendidik yang terutama adalah merencanakan, menciptakan dan menemukan kegiatan kegiatan yang bersipat menantang yang akan dapat membangkitkan prakarasa belajar pebelajar.berpikir, memberikan alasan-alasan secara logis dan menggunakan pemikirannya secara baik. Hal ini sangat penting sebagai landasan terciptanya masyarakat belajar sepanjang hayat dimana orang akan belajar terus secara bebas dan mandiri.<br />
Dalam upaya mewujudkan masyarakat belajar sepanjang hayat dan untuk menghadapi era informasi dan pasar bebas tersebut, para guru/dosen harus berupaya menciptakan kondisi yang memungkinkan pebelajar memiliki pengalaman belajar dari berbagai sumber, baik sumber belajar yang dirancang maupun sumber belajar yang dimanfaatkan. Oleh karena itu, guru sebagai perancang pembelajaran dalam merancang pembelajaran salah satu komponen yang perlu diperhatikan adalah menganalisis sumber-sumber belajar apa yang tersedia dan dapat digunakan untuk menyampaikan isi pembelajaran. Perencanaan pembelajaran aneka sumber perlu dilakukan disebabkan: (1) dengan belajar berbasis aneka sumber, pebelajar dapat melakukan kegiatan belajar sesuai dengan gaya be;lajar yang dimilikinya, misalnya dengan jalan mendengarkan rekaman audio, siaran radio, dan melihat TV, video dan computer assisted instruction (CIA), dan lain-lain, (2) Kesempatan belajar karena hal ini sifatnya individual, maka seorang pebelajar dapat saja mengatur kapan waktu yang cocok buat mereka belajar, (3) Kemauan atau motivasi untuk belajar. Tanpa motivasi yang tinggi prestasi belajar akan sulit dicapai, walau bagaimanapun tersedianya berbagai aneka sumber belajar. Beberapa manfaat yang dapat diambil dari belajar berbasis aneka sumber antara lain, (a) seseorang dapat belajar sesuai dengan kondisinya dan waktu belajar, (b) menimbulkan pemahaman yang lebih mendalam, (c) mendorong terjadinya pemusatan perhatian terhadap topic sehinggga pebelajar menggali lebih banyak informasi dan menghasilkan produk belajar yang lebih bermutu, (d) meningkatkan pembentukan ketrampilan berpikir seperti ketrampilan memecahkan masalah, memberikan pertimbangan-pertimbangan, (e) meningkatkan motivasi belajar, (f) mengurangi ketergantungan pada guru, (g) menumbuhkan kesempatan belajar yang baru, dan (g) menumbuhkan rasa percaya diri dalam menghadapi tantangan baru.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
Abd. Hamid K., (2007). Teori Belajar dan Pembelajaran. Medan: PPs Unimed<br />
AECT., (1977). Defenisi Teknologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali<br />
Degeng Nyoman Sudana (1989). Ilmu Pengajaran: Taksonomi Variabel. Jakarta: Depdikbud. Dirjendikti.<br />
Degeng Nyoman Sudana., (1990). Design Pembelajaran: Teori ke Terapan. Malang: PPs IKIP Malang.<br />
Dewi Padmo, dkk., (2003). Teknologi Pembelajaran: Upaya peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia. Jakarta: Universitas Terbuka<br />
Dick, Walter and Lou Carey, The Systematic Desing of instruction, Glenview, Illinois: Scott, Fores-man and Company, 1994<br />
Edgar Dale., (1969). Audio in Teaching. New York: Holt Rinehart and Winston<br />
Gafur A. (1986). Desain Instruktional. Solo: Tiga Serangkai<br />
Gerlach, Vernon S. and Donal P. Ely. (1971). Teaching and Media: A Systematic Approach, Englewood Cliffs, New Jersey: prentice- Hall.<br />
Gagne, Robert M, and Leslie J. Briggs, and Walter W Warge. (1992) Prenciples of Instructional Design, (4thed) Fort Worth, Tx: Hobcourt brace Ivanovich.<br />
Heinich, Robert, Michael Molenda, James D. Russell, Sharon E. Smaldino. (1996) Instructional Media, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. A Simon & Schuster.<br />
Kemp J.E., (1985). The Instructional Design Proses. New York: Harper & Row<br />
Leshin Cynthia B. , Pollock Joeellyn, Reigeluth M.Charles., (1992). Instructional Design Strategies and Tactics. Englewood Cliff, New Jersey: Educational Technology Publication.<br />
Plomp Tjeerd and Ely Donalp. P., (1996) International Encyclopedia of Educational Teechnology. New York: Pergamon<br />
Reigeluth, C.M. (1983). Instructional Design Theories and Models: An Overview of Their Current Status. Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.<br />
Seel B. Barbara (1995). Instructional Design Fundamentals. Englewood Cliff, New Jersey: Educational Technology Publications.<br />
Shambaugh Neal, and Magliaro Susan G., (2006). Intructional Design: A Systematic Approach for Reflektive Practice. Boston: Pearson Education.<br />
Suparman, Atwi, Desain Intruksional, Jakarta: PAU universitas Terbuka, 1993<br />
Yusufhadi Miarso., (2004) Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media<br />
West Charles K., Farmer James A., and Wolff Philip M., (1991). Instructional Design: Implications From Cognitive Science. Boston: Allyn and Bacon, Inc.<br />
Wiggins Grant and McTighe Jay. ( 2005). Understanding by Design. New Jersey:Pearson, Merrill Prentice Hall</span></div>IKATAN PENGEMBANG TEKNOLOGI PENDIDIKAN INDONESIAhttp://www.blogger.com/profile/15690844411253954621noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1063429453719024104.post-73339228735055915192010-02-19T00:18:00.000-08:002010-02-19T00:31:21.387-08:00Pendidikan pada Masyarakat Nelayan<img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5439868713822872274" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 150px; CURSOR: hand; HEIGHT: 113px; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXDBscDnGyEzbfPZ2rn4NVJQeQHAd3dKCc7glxa9xTa_nlymmVqSsCt92WLrQSiqnjV9B_aCU8yopzMrs1rUCYn5bCBZ1lUujT3skRYjbd6WEPVwawKoIrMpx780VcnOpwzNHDB_Yli31y/s320/images.jpg" border="0" /><br /><br /><div align="center"><span style="font-family:verdana;color:#ff0000;">KAJIAN MODEL PENDIDIKAN DASAR UNTUK ANAK MASYARAKAT NELAYAN DI SUMATERA UTARA T.A. 2009</span><br /></div><div align="justify"></div><br /><br /><div align="center"><span style="color:#006600;">Prof. Dr. Muhammad Badiran, M.Pd</span></div><br /><br /><div align="justify"></div><br /><br /><div align="justify"></div><br /><br /><div align="center"><span style="font-family:trebuchet ms;color:#000066;">Abstrak</span></div><br /><br /><div align="justify"><span style="font-family:trebuchet ms;color:#000066;">Nelayan tradisional berjuang keras melawan terpaan gelombang laut yang dahsyat pada saat pasang naik untuk mendapatkan ikan, namun mereka terus berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan. Walaupun demikian nelayan tetap bisa bertahan karena didorong semangat hidup yang kuat dengan motto kerja keras agar kehidupan mereka menjadi lebih baik. Waktu yang dapat dimanfaatkan nelayan untuk melaut hanya 20 hari selama sebulan, sisanya mereka relatif menganggur. Berarti, waktu benar-benar dibutuhkan untuk pergulatan hidup sehingga tidak terpikirkan untuk duduk dibangku sekolah. Menjelang usia remaja anak-anak nelayan akan mengikuti ayahnya melaut sehingga mereka meninggalkan bangku sekolah. Oleh karena itu bagi anak-anak nelayan yang sudah menginjak usia remaja diharapkan telah selesai menempuh pendidikan dasar. Melalui pengalaman belajar anak nelayan yang diperoleh dari pendidikan dasar tersebut, akan membantu orang tua untuk memahami teknologi maju dan menyadarkan orang tua perlunya pendidikan untuk meningkatkan harkat dan martabat kehidupan masyarakat nelayan. Kini dipertanyakan bagaimanakah model pendidikan dasar bagi anak masyarakat nelayan?</span></div><br /><br /><div align="justify"><span style="font-family:trebuchet ms;color:#000066;"></span></div><br /><br /><div align="justify"><span style="font-family:trebuchet ms;color:#000066;">A. PENDAHULUAN<br /><br />Sejak dari dahulu sampai sekarang, pekerjaan nelayan merupakan pekerjaan turun temurun dan umumnya tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Dalam masyarakat nelayan ditemukan adanya kelas pemilik dan kelas pekerja. Kelas pemilik yang dapat dinyatakan sebagai juragan, kesejahteraannya relatif lebih baik karena menguasai faktor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap maupun faktor pendukungnya seperti es, garam dan lainnya. Kelas pekerja atau penerima upah dari pemilik merupakan mayoritas, dan kalaupun mereka berusaha memiliki sendiri alat produksi, umumnya masih sangat konvensional, sehingga produktivitasnya kurang berkembang, “...kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan”. (Ninda, 2009). Menurut data, jumlah nelayan di Sumut sekitar 321.000 orang yang tersebar di 13 kabupaten dan kota, dan dari jumlah tersebut, nelayan tradisional mencapai 70 persen, nelayan menengah 20 persen dan nelayan skala besar 10 persen. Berarti, nelayan yang termarginalkan adalah sekitar 70 persen dari jumlah nelayan (sekitar 224 ribu lebih) nelayan masih berada di bawah garis kemiskinan. (Ulumuddin, 2009) Dengan demikian pembahasan masyarakat nelayan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah nelayan tradisonal.<br />Waktu bekerja nelayan harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari satu bulan namun sayangnya yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari, sisanya<br />mereka relatif menganggur. Kenyatannya, bila perairan di Sumatera utara dilanda angin barat daya yang bertiup cukup kencang, mengakibatkan terjadi ombak besar, khususnya di wilayah pantai barat seperti Sibolga, Tapanuli Tengah, Nias dan Tapanuli Selatan dengan ketinggian sekitar empat meter. Sedangkan di wilayah pantai timur seperti Belawan, Deli Serdang, Asahan dan Tanjung Balai, ketinggian ombaknya sekitar dua meter. Kondisi itu menyebabkan nelayan di Sumut yang umumnya masih tergolong nelayan tradisional tidak berani melaut karena khawatir terhadap keselamatan jiwa. Namun, sebagian nelayan tetap memaksakan diri melaut meski harus menghadapi besarnya ombak dan tidak mendapatkan ikan yang cukup banyak. Kelompok nelayan ini tetap memaksakan diri karena kebutuhan rumah tangga disebabkan tidak memiliki uang pada masa kritis. "Mereka (nelayan) berprinsip, lebih baik mati di laut dari pada dapur tidak berasap," (Ulumuddin, 2009).<br />Nampaknya masyarakat nelayan sulit dilepaskan dari jebakan kemiskinan, karena mereka sering dihadapkan pada musim paceklik, dan untuk mengatasi masalah di musim paceklik ini, berbagai usaha dilakukan nelayan, contohnya adalah mereka menjual perhiasan istri demi menyambung hidup keluargnya ataupun meminjam pada rentenir (Solihin, 2004). Potret kehidupan nelayan kecil di pesisir memang belum terlepas dari jerat rentenir, bahkan kian hari jerat itu dirasakan semakin melilit. Utang ke rentenir telah membuat nelayan terjebak dalam kemiskinan terstruktur, sehingga kehidupan nelayan tak kunjung sejahtera. Lebih parah lagi, ”pulang melaut umumnya para nelayan hanya cukup membeli beras sebanyak dua liter”, karena tersangkut pinjaman rentenir dengan bunga yang ditetapkan mereka. (Sinar Indonesia Baru, 27 Maret 2008)<br />Umumnya, nelayan bisa bertahan hanya dan hanya jika didorong semangat hidup yang kuat dengan motto kerja keras agar kehidupan mereka menjadi lebih baik. Nelayan tradisional berjuang keras melawan terpaan gelombang laut yang dahsyat pada saat pasang naik untuk mendapatkan ikan. Dengan hanya mengandalkan kemampuan mesin dompeng misalnya, nelayan dapat berada pada radius 500 M dari pinggir pantai dan dengan cara seperti ini nelayan akan mendapatkan lebih banyak dibandingkan dengan bila menangkap ikan di bibir (tepi pantai) pada radius 200 M, yang ikannya sudah langka. (Kompas Com, 26 Maret 2009)<br />Pekerjaan menangkap ikan dikerjakan oleh lelaki karena merupakan pekerjaan yang penuh resiko, sehingga keluarga yang lain tidak dapat membantu secara penuh. Kalaupun nelayan pekerja memiliki alat produksi sendiri ternyata alat tangkap ikan yang dimiliki tersebut belum dilengkapi dengan alat teknologi tangkap ikan, dan modal usaha, sehingga penghasilannya tidak seperti bila mereka menggunakan alat teknologi tangkap ikan yang baik. Bagi para nelayan memang tidak ada pilihan lain, karena pekerjaan yang berhadapan dengan ancaman gelombang laut, ombak, cuaca, dan kemungkinan terjadi karam saat akan melaut ke tengah lautan untuk menangkap ikan adalah pekerjaan turun temurun tanpa pernah belajar sebagai nelayan yang modern. Dengan demikian sangat diharapkan sekali walaupun harapan tersebut :...bagaikan kerakap tumbuh di batu, bahwa mereka perlu modal usaha untuk perbaikan dan peningkatan kesejahteraan hidup.(Pangeman, Adrian P dkk. 2002). Kenyataannya, pada usia meningkat remaja anak nelayan mulai diajak berlayar dan ikut melaut, sehingga merka jarang yang sekolah. Kini harus dipahami bahwa kehidupan nelayan memerlukan perhatian yang multi dimensi. Tantangan yang terbesar adalah bagaimana membangun kehidupan nelayan menjadi meningkat kesejahterannya. Besar kemungkinannya hal ini dapat dicapai melalui pendidikan yang akan mengangkat harkat dan martabat kehidupan masyarakat nelayan maupun masyarakat lainnya yang terkait dengan sumber daya kelautan dan pesisir. “Usaha ke arah ini haruslah bermuara pada peningkatan kemakmuran nelayan, terutama nelayan kecil dan petani ikan” (Indrawadi, 2009).<br />Dengan demikian, masalah sosial budaya yang terdapat pada kehidupan nelayan antara lain adalah: a) Rendahnya tingkat pendidikan, b) Miskin pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaannya, c) Kurangnya tersedia wadah pekerjaan informal dan d) Kurangnya daya kreativitas, serta e) Belum adanya perlindungan terhadap nelayan dari jeratan para tengkulak.<br />Melihat kondisi kehidupan nelayan yang tidak memungkinkan anak nelayan memasuki sekolah formal karena keberadaan anak nelayan dimaksudkan untuk membntu ayahnya mencari ikan ke laut. Kini dlpertanyakan bagaimanakah model pendidikan bagi anak nelayan, apakah pendidikan anak nelayan memerlukan pendidikan khusus sebagaimana halnya juga dengan anak petani miskin yang membantu orang tuanya di sawah? Melihat kehadiran anak nelayan di sekolah formal lebih banyak absennya karena ikut melaut membantu orang tuanya, apakah anak nelayan perlu mendapat pendidikan khusus di sekolah formal? Ataukah anak nelayan diberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan membantu orang tua kelaut?<br />Pemberdayaan anak nelayan ternyata tidak bisa diseragamkan, tetapi harus disesuaikan dengan kondisi aktual masyarakat setempat. Misalnya saja pendidikan manajemen keuangan yang diharapkan memungkinkan mereka terbebas dari jeratan tengkulak, harus diberikan dengan memperhatikan budaya dan kondisi psikologis mereka. Jika ini tidak diperhatikan, dipastikan program pemberdayaan pendidikan akan gagal karena pemberdayaan pendidikan anak nelayan tidak terlepas dari pemberdayaan masyarakat pesisir. Persoalan yang dihadapi adalah, sebagian masyarakat pesisir masihberanggapan bahwa pendidikan itu tidak penting. Yang perlu dilakukan adalah membalik paradigma nelayan selama ini, dengan menyatakan bahwa pendidikan itu penting.<br />Dengan demikian beralasanlah bila anak nelayan perlu dicarikan model pendidikan dasar yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan kehidupan mereka. Kini dipertanyakan bagaimanakah model pendidikan dasar yang sesuai bagi anak nelayan? Melalui penelitian khusus untuk pendidikan dasar bagi anak masyarakat nelayan, akan terungkap kemungkinan bentuk pendidikan yang sesuai bagi masyarakat nelayan.<br />Masyarakat nelayan dalam penelitian ini adalah masyarakat nelayan trdisional Sumatera Utara. Model yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah model pendidikan dasar bagi anak nelayan, bukanlah model pendidikan dasar pada sekolah formal, dan kemungkian besar berbeda dengan pendidikan dasar yang sudah ada.</span><a name="OLE_LINK2"></a><a name="OLE_LINK1"><span style="font-family:trebuchet ms;color:#000066;"> Kini masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah alternatif model pendidikan dasar pada masyarakat nelayan?</span></a><span style="font-family:trebuchet ms;color:#000066;"> Tujuan penelitian ini adalah mengkaji model pendidikan dasar untuk anak masyarakat nelayan agar mereka dapat sekolah dan terpenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat nelayan, dan lebih jauh lagi pada gilirannya kelak mereka akan terbebas dari kemiskinan.<br /><br /><br />B. METODOLOGI PENELITIAN<br /><br />Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik yakni suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang realitas pada obyek yang diteliti secara obyektif. Penelitian ini menekankan pada satu variabel yakni pengembangan model pendidikan berbasis kompetensi bagi anak usia sekolah pada masyarakat nelayan.<br />Penelitian ini dilakukan di tiga lokasi yaitu, Tanjung Balai, Serdang Bedagai, dan Langkat/ Pemilihan lokasi penelitian ini dimaksudkan karena agar informasi yang diperoleh dapat mewakili nelayan di Sumatera Utara. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh nelayan yang menempati pesisisr pantai Sumtera Utara yang diwakili oleh sampel yang diambil secara purposif terhadap nelayan di Tanjung Balai, Nelayan Serdang Bedagai dan Nelayan Langkat, dengan cara Accidental sample yaitu teknik pengambilan sample berdasarkan kesediaan responen untuk mengisi kuesioner baik dari sisi waktu dan pemikiran, dan masing-masing daerah ditentukan sampel adalah 50 orang. Sehingga besar sampel adalah 150 orang.<br />Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang digunakan untuk memperoleh informasi responden dalam arti tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui dalam penelitian.Pengamatan (observasi), yaitu teknik pengumpulan data melalui pengamatan langsung kepada obyek penelitian dilakukan bersamaan dengan teknik lain untuk mengamati keadaan fisik, lokasi atau daerah penelitian secara sepintas lalu (on the spot) dan dengan melakukan pencatatan seperlunya. Teknik analisis deskriptif dalam hal ini antara lain penyajian data melalui tabel atau grafik. Perhitungan data dengan menggunakan frekuensi dan penggunaan prosentase.<br /><br /><br />C. HASIL PENELITIAN<br /><br />Berdasarkan dari hasil survey di apangan terhadap kehidupan masyarakat nelayan, ditemukan berbagai data sebegai berikut:<br /><br />1. Jenjang, Jumlah Dan Angka Drop Out<br /><br />Tabel 1. Jumlah Siswa Yang Drop Out<br /><br /></span><a name="OLE_LINK3"><span style="font-family:trebuchet ms;color:#000066;">Jenjang Pendidikan Sekolah</span></a><br /><span style="font-family:trebuchet ms;color:#000066;">Jumlah Sekolah<br />Drop Out<br />%<br />SD Negeri<br />SD Swasta<br />SMP Negeri<br />SMP Swasta<br />28<br />1<br />2<br />6<br />240<br />180<br />58<br />260<br />32.52<br />24.39<br />7.86<br />35.23<br /><br />Total<br />738<br />100<br /><br /><br />Dari Tabel 1 dapat terlihat bahwa jumlah siswa drop out untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama baik negeri maupun swasta adalah sebesar 738 orang, dan untuk SD Negeri siswa yang drop out adalah 32,52 persen dari keseluruhan siswa yang drop out, sedangkan pada SD swasta terdapat sekitar 24,39 persen dari keseluruhan siswa yang drop out. Hal ini berarti disekolah dasar negeri walaupun persentasinya lebih besar namun bila dibandingkan dengan jumlah SD Negeri yang ada (28 SD Negeri), ternyata lebih kecil jumlah siswa yang drop out dibandingkan dengan SD swasta (1 buah SD Swasta). Demikian pula halnya dengan persentase siswa SMP yang drop out, ternyata siswa yang drop out pada SMP Swasta lebih besar dibandingkan dengan persentase siswa yang drop out di SMP Negeri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa yang drop out baik untuk SD maupun SMP ternyata lebih banyak siswa yang drop out di SMP Swasta dibandingkan dengan siswa yang drop out di sekolah negeri.<br /><br /><br />2. Mata Pencarian Orang Tua<br /><br />Tabel 2. Mata Pencarian Orang Tua Siswa<br /><br />Pekerjaan Orang Tua<br />Persentase<br />Nelayan yg memiliki boat<br />Nelayan yg memilki perahu<br />Buruh Nelayan<br />Pedagang<br />Petani<br />Buruh Petani<br />PNS<br />ABRI<br />15<br />20<br />15<br />8<br />15<br />20<br />5<br />2<br />Total<br />100<br /><br />Dari Tabel 2 dapat terlihat bahwa mata pencarian orang tua siswa bervariasi, dari nelayan sampai dengan ABRI. Ternyata mata pencarian orang tua siswa sekitar 50 persen terdiri dari nelayan, selebihnya yaitu sekitar separuhnya, adalah Pedagang, Petani, Buruh Petani, PNS, dan ABRI. Dari 50 persen mata pencarian orang tua murid adalah nelayan, ternyata lebih banyak nelayan tradisional dan buruh nelayan dibandingkan dengan nelayan modern (mengunakan boat) yang menyekolahkan anaknya. Hal ini berarti baik nelayan modern maupun tradisonal dan buruh nelayan, menginginkan anaknya bersekolah. Namun karena kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, maka dapat diduga siswa yang drop out adalah lebih banyak berasal dari anak nelayan<br /><br /><br />Tabel 3. Masyarakat Nelayan dalam Pendidikan<br /><br />Aktivitas<br />Respons<br />1. Dukungan orang tua, masyarakat, dalam mendorong dan membantu anaknya sekolah<br />Cukup<br />2. Peran masyarakat thdp anak yang drop out di lingkungan masyarakat<br />Tidak ada<br />3. Pemanfaatan fasilitas lingkungan untuk anak usia sekolah di lingkungan<br />Cukup memadai<br />4. Hubungan masyarakat sekitar sekolah dengan sekolah dalam mendorong anak-anak usia sekolah belajar di sekolah<br />Cukup Memuaskan<br /><br /><br />Dari Tabel 3 terlihat bahwa dukungan orang tua, masyarakat, dalam mendorong dan membantu anaknya sekolah adalah cukup, yang berarti masyarakat nelayan berkeinginan agar anaknya sekolah, walaupun dengan kondisi yang pas-pasan dan terkadang karena kebutuhan hidup akhirnya anak nelayan menjadi drop out, tidak sekolah lagi. Lebih parah lagi ternyata peran masyarakat terhadap anak yang drop out di lingkungan masyarakat, tidak ada dan kemungkinan besar masing-masing keluarga disibuki oleh kesibukannya masing-masing untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan fasilitas lingkungan untuk anak usia sekolah di lingkungan dapat dinyatakan cukup memadai, yang berarti tidak rotan akarpun jadi, paling tidak fasilitas yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin walaupun tidak mencukupi. Berkenaan dengan hubungan masyarakat sekitar sekolah dengan sekolah dalam mendorong anak-anak usia sekolah belajar di sekolah, dapat dinyatakan cukup memuaskan. Hal ini berarti bahwa keberadaan sekolah di lokasi nelayan tersebut memberi pengaruh yang baik bagi masyarakat nelayan karena mereka juga mendapat imbasnya dari kecerdasan anak-anak yang telah bersekolah. Hanya kondisi dan kebutuhan serta kebiasaan nelayan sajalah yang membuat terjadinya siswa yang drop out tersebut.<br /><br /><br />3. Pandangan orang tua dan anak nelayan<br /><br />Tabel 4. Pandangan Orang Tua terhadap Pendidikan<br /><br />Aktivitas Nelayan<br />Respons<br />1. Motivasi Nelayan untuk menyekolahkan anaknya.<br />2. Harapan nelayan terhadap anak lelakinya.<br />3. Harapan nelayan terhadap anak perempuannya<br />4. Model pendidikan yang diinginkan nelayan (formal atau non formal),<br />5. Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk diberikan kepada anaknya:<br /><br /><br />6. Keterampilan khusus yang diinginkan orang tua diberikan guru terhadap anaknya,<br /><br />7. Pemahaman Nelayan tentang Pendidikan anak nelayan<br /><br />Kurang sekali<br />Membantu orang tua kelaut<br />Membantu ibunya di rumah Non formal<br /><br />Berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga.<br />Menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang kurang sekali<br /><br /><br />Dari Tabel 4 terlihat bahwa motivasi Nelayan untuk menyekolahkan anaknya, kurang sekali, hal ini berarti para nelayan perlu dimotivasi agar anaknya diberi kesempatan untuk sekolah pada masa usia sekolah. Namun karena keterbatasannya kebanyakan anak nelayan terpaksa membantu orang tuanya melaut. Dari data tentang harapan nelayan terhadap anak lelakinya hanyalah dapat membantu orang tua kelaut, dan untuk anak perempuan membantu ibunya di rumah. Hal ini berarti menjelang usia remaja seharusnya anak nelayan tadi telah menamatkan sekolahnya pada sekolah dasar, sehingga pengetahuan yang diperolehnya dapat dimanfaatkan untuk membantu orang tuanya mencari nafkah di laut.<br />Berkenaan dengan model pendidikan yang diinginkan nelayan, dari hasil wawancara ternyata sebaiknya anak nelayan dapat sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, yaitu model sekolah non formal, sehingga anak nelayan dapat bersekolah dan sekaligus dapat membantu orang tuanya bekerja di laut.<br />Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk diberikan kepada anaknya antara lain berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga. Dengan memiliki pengetahuan dan kompetensi seperti ini, diharapkan kelak anaknya dapat mengangkat harkat dan martabat orang tuanya sekaligus mengangkat taraf hidup masyarakat nelayan. Berkenaan dengan keterampilan khusus yang diinginkan orang tua, yang diberikan guru terhadap anak perempuannya, antara lain menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang.Hal iniberarti selain membantu ibunya anak perempuan nelayan pada suatu saat nanti dapat emacu kreativitasnya untuk bekerja bidang lain, selain sebagai anak nelayan. Sayangnya pemahaman nelayan tentang pendidikan anak, ternyata kurang sekali, bertani nelayan hanya pasrah agar anaknya sekolah apa saja, yang penting kelak anaknya dapat menopang kehidupan orang tuanya lebiha baik dibandingkan dari kehhidupan saat ini.<br />Dengan demikian pada saat ini pandangan orang tua terhadap pendidikan anaknya sangat kurang sekali, juga pandangan anaknya terhadap pendidikan kurang sekali, karena lingkunganya mempengaruhi, dan adanya suatu tekad dapat ikutserta membantu orang tua ke laut<br /><br />4. Partisipasi Masyarakat<br /><br />Dari hasil wawancara dengan para tokoh masyarakat nelayan ternyata pandangan masyarakat terhadap pentingnya pendidikan anak nelayan sangat kurang dan tidak ada peran masyarakat terhadap usaha meninkatkan pendidikan anak nelayan. Hal ini berarti perlu usaha memberikan inovasi paradigma berpikir masyarakat nelayan agar mau memperdulikan pendidikan anaknya, agar anaknya dapat memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan orang tuanya sendiri. Perlu dibangkitkan partisipasi masyarakat nelayan yang cukup kuat untuk mengadopsi paradigma berpikir nelayan agar lebih maju dan bermartabat sebagai akibat berubahnya pemikiran nelayan terhadap kebutuhan pendidikan bagi anak nelayan.<br /><br /><br /><br />5. Tenaga Kependidikan dan Pembelajaran<br /><br />Tabel 5. Latar belakang pendidikan guru<br /><br />Aktivitas Nelayan<br />Respons<br />Motivasi Nelayan untuk menyekolahkan anaknya.<br /><br />2. Harapan nelayan terhadap anak lelakinya.<br /><br />3. Harapan nelayan terhadap anak perempuannya<br /><br />4. Model pendidikan yang diinginkan nelayan<br /><br />5. Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk<br />diberikan kepada anaknya:<br /><br />6. Keterampilan khusus yang diinginkan orang tua<br /><br /><br /><br />7. Pemahaman Nelayan ttg Pendidikan anak nelayan<br />Kurang sekali<br /><br />Membantu orang tua kelaut<br /><br />Membantu ibunya di rumah<br /><br />Pendidikan Non formal<br /><br />Berhitung, menulis, membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia,<br /><br />Mengelola uang dan olah raga.<br />menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang<br />kurang sekali<br />Pendidikan Guru<br />Persentasi<br />SPG/PGA<br />PGSD D2<br />Sarjana IKIP Medan<br />Sarjana non IKIP<br />Sarjana Pendidikan<br />Sarjana non pendidikan<br />Sarjana Agama Islam<br />Dan lain-lain<br />30<br />20<br />10<br />15<br />10<br />5<br />5<br />5<br />Total<br />100<br /><br />Dari Tabel 5 terlihat bahwa kualifikasi tenaga kependidikan cukup bervariasi. Tenaga pendidik berkualifikasi dari tamatan SPG/PGA sampai dengan sarjana agama Islam, bahkan profesi lain turut berperan dalam membangun kecerdasan bagi masyarakat nelayan. Sarjana non pendidikan hanya sekitar 5 persen saja dan Sarjana Agama Islam, dan profesi lain-lain berkisar samapai 10 persen. Hal ini berarti tenaga sarjana kependidikan lebih banyak berperan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat.<br /><br /><br />6. Pelatihan, sarana, dan kondisi lingkungan<br /><br />Pelatihan bagi guru diperlukan untuk meningkatkan keterampilan proses belajar mengajar, yang biasanya dilakukan bergiliran sesuai dengan kebutuhan sekolah. Sarana sekolah secara keseluruhan dapat dinyatakan ada, walaupun sekedar memenuhi persyaratan adanya suatu sekolah, namun bagi sekolah yang dapat menghidupi sekolahnya sendiri, terlihat tidak begitu mengecewakan kondisi sarana di sekolah tersebut.<br /><br /><br />7. Infra Struktur Pendidikan<br />a. Ketersedian kelengkapan sekolah dapat dinyatakan cukup, walaupun di sana sini masih menunjukan keprihatinan, namun ada juga yang sudah meningkat dan dapat dikedepankan.<br /><br />Tabel 6. Akses Jalan Masuk Ke Sekolah<br /><br />Akses jalan ke sekolah<br />Jalan aspal Kelas kecamatan<br />Jalan pengerasan dengan pasir dan batu<br />Jalan becek dan berlumpur<br />Jalan setapak<br /><br />Berkenaan dengan jalan masuk ke sekolah dapat dinyatakan bervariasi. Ada sekolah yang mudah mencapainya karena terletak pada jalan spal kelas kecamatan, namun ada juga jalan masuk ke sekolahnya hanya alan pengerasan dengan pasir dan batu. Bahkan lebih memprihatinkan lagi karena jalan masuk ke sekolahnya becek dan berlumpur ataupun hanya jalan stapak. Hal ini merupakan pertanda bahwa jalan masuk ke sekolah perlu diperbaiki ataupun ditingkatkan menjadi lebih baik lagi agar baik guru maupun siswa merasa senang dan betah ke sekolah<br /><br />b. Posisi strategis sekolah<br />Hal lain yang perlu diperhatikan, ternyata posisi sekolah di lapangan ternyata cukup strategis, mudah dijangkau walaun mungkin hanya jalan stapak, ataupun malah becek dan berlumpur. Kini hanya menungu uluran tangan penguasa untuk ,membenahi sekolah-sekolah tersebut.<br /><br /><br />D. DISKUSI HASIL PENELITIAN<br /><br />Berdasarkan hasil temuan dilapangan ternyata siswa yang drop out baik untuk SD maupun SMP ternyata lebih banyak siswa yang drop out di SMP Swasta dibandingkan dengan siswa yang drop out di sekolah negeri. Selain itu baik nelayan modern maupun tradisonal dan buruh nelayan, menginginkan anaknya bersekolah. Namun karena kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, maka dapat diduga siswa yang drop out adalah lebih banyak berasal dari anak nelayan. Masyarakat nelayan berkeinginan agar anaknya sekolah, walaupun dengan kondisi yang pas-pasan dan terkadang karena kebutuhan hidup akhirnya anak nelayan menjadi drop out, tidak sekolah lagi. Sayangnya tidak ada peran masyarakat yang perduli terhadap anak yang drop out tersebut, hal ini mungkin masing-masing keluarga larut oleh kesibukannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Fasilitas yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin walaupun tidak mencukupi, dan dorongan untuk sekolah, cukup memuaskan, sehingga keberadaan sekolah dirasakan berdampak pada meningkatnya kecerdasan anak-anak yang telah bersekolah. Hanya kondisi dan kebutuhan serta kebiasaan nelayan sajalah yang membuat terjadinya siswa yang drop out tersebut<br />Berkenaan dengan model pendidikan yang diinginkan nelayan, dari hasil wawancara terhadap para tokoh nelayan, dinyatakan bahwa perlu dirancang bentuk pendidikan yang memungkinkan anak nelayan dapat sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, seperti sekolah non formal, sehingga anak nelayan dapat bersekolah dan sekaligus dapat membantu orang tuanya bekerja di laut.<br />Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk diberikan kepada anaknya antara lain berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga, dengan harapan kelak anaknya dapat mengangkat harkat dan martabat orang tuanya sekaligus mengangkat taraf hidup masyarakat nelayan. Keterampilan khusus yang diinginkan orang tua untuk anak perempuannya, antara lain menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang, dengan harapan selain membantu ibunya anak perempuan nelayan pada suatu saat nanti dapat memacu kreativitasnya untuk bekerja di bidang lain, selain sebagai anak nelayan. Sayangnya pemahaman nelayan tentang pendidikan anak, ternyata kurang sekali, yang penting kelak anaknya dapat menopang kehidupan orang tuanya lebih baik dibandingkan dari kehidupan saat ini.<br />Perlu dibangkitkan partisipasi masyarakat nelayan yang cukup kuat untuk mengadopsi paradigma berpikir nelayan agar lebih maju dan bermartabat sebagai akibat berubahnya pemikiran nelayan terhadap kebutuhan pendidikan bagi anak nelayan. Sementara itu tenaga pendidik yang tersedia mengelola pendidikan bagi anak nelayan cukup baik ditandai dengan telah berperannya tenaga sarjana kependidikan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat. Dari pantauan terhadap posisi sekolah di lapangan ternyata cukup strategis, mudah dijangkau walaun mungkin hanya jalan stapak, ataupun malah becek dan berlumpur. Kini hanya menungu uluran tangan penguasa untuk ,membenahi sekolah-sekolah tersebut. Dengan demikian dapat dibutiri dari hasil diskusi tentang pendidikan anak nelayan bahwa masyarakat nelayan memiliki sifat khusus yang berbeda dengan masyarakat non nelayan, yang memungkinkan anak tidak dapat sekolah karena lebih banyak membantu orang tua kelaut. Selain itu rendahnya tingkat pengetahuan membuat rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan. Kondisi seperti ini diperparah lagi dengan tidak adanya perencanaan pengelolaan keuangan yang baik untuk masa depan, dan tidak terpacunya kreativitas karena kepasrahan dan terbatasnya wawasan meningkatkan taraf hidup mereka sendiri.<br /><br /><br /><br /><br />E. MODEL PENDIDIKAN ANAK NELAYAN<br /><br />Mengingat masyarakat nelayan adalah masyarakat yang memiliki sifat-sifat khusus, baik dari segi pemahaman terhadap pendidikan, tingkat kesejahteran, miskinnya pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaan, kurang kreatif, maupun kurang terencana manajemen keuangan untuk menentukan masa depan, maka model yang dianut adalah model pemberdayaan nelayan melalui pendidikan berbasis kebutuhan komunitas dan berbasis masyarakat nelayan. Konsep pendidikan berbasis komunitas nelayan pada dasarnya mengacu kepada konsep pemberdayaan komunitas nelayan, yaitu bagaimana membuat komunitas pada masyarakat nelayan memiliki pandangan perlunya pendidikan dasar bagi anak nelayan. Hal ini disebabkan sebagian masyarakat pesisir masih beranggapan bahwa pendidikan itu tidak penting dan kini saatnya menyadarkan masyarakat nelayan bahwa bahwa pendidikan itu penting.<br />Pada tahun 1970-an Ivan Illich pernah melontarkan gagasan kontroversial tentang masyarakat tanpa sekolah (Deschooling Society). Illich meramalkan, jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar, institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial budaya yang luas, tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah. Jadi pengorganisasian pendidikan sistem formal bukanlah menjadi satu-satunya jalan keluar. Oleh karena itu model pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan yang harus dikembangkan merupakan model pendidikan non formal yaitu pendidikan dasar yang mampu menyelesaikan masalah yang terjadi pada masyarakat nelayan, yang responsif terhadap penyelesaian problem pendidikan sesuai dengan konteks masyarakat nelayan itu sendiri.<br />Dalam model pendidikan dasar ini dibentuk Sanggar Pembelajaran yang dikelola oleh warga nelayan, seperti home scholing dan dilaksanakan oleh kelompok kecil warga nelayan, yang terdiri dari 2-3 keluarga. Dari berbagai Sanggar Pembelajaran ini disatukan lagi dalam kelompok yang lebih besar yang diberi nama Kelompok Sanggar Komunitas Nelayan (KSKN), yang terdiri dari 10 Sanggar Pembelajaran. Dari berbagai KSKN tersebut disatukan dalam wadah Pendidikan Dasar Anak Nelayan (PDAN), yang selanjutnya dihubungkan dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) seperti Paket A dan B untuk mendapatkan legalitas sertifikat telah mengikuti pendidikan dasar. Sertifikat ini dapat digunakan untuk melanjtkan pada pendidikan mengah. Berkenaan dengan tenaga pendidik yang bertugas sebagai pembina dan tutor diusulkan untuk mendapat banruan dari Diknas setempat.<br /><br />E. KETERBATASAN PENELITIAN<br /><br />Bagaimana baiknya hasil suatu penelitian kenyatannya tetap saja ada keterbatasa hasil penelitian yang tidak bisa dielakkan. Mengingat lokasi penelitian hanya dilaksanakan pada tida lokasi desa nelayan yaitu di Tanjung Balai, Serdang Bedagai dan langkat, maka untuk generalisasi hasil penelitian ini perlu dilakukan dengan hati-hati. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan penelitian awal penjajagan untuk merancang model pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan. Walaupun demikian model yang ditemukan dari hasil penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan meninjau berbagai hasil penelitian yang menunjang.<br /><br /><br /><br />F. SIMPULAN,<br /><br />Banyak siswa pendidikan dasar yang drop out dari sekolah formal dan umumnya berasal dari anak nelayan.<br />Kurangnya peran masyarakat terhadap anak didik yang drop out kemungkinan besar masing-masing keluarga larut oleh kesibukannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.<br />Fasilitas yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin walaupun tidak mencukupi, dan dorongan untuk sekolah, cukup memuaskan, karena keberadaan sekolah dirasakan berdampak pada meningkatnya kecerdasan anak-anak yang telah bersekolah.<br />Para tokoh nelayan menginginkan perlunya merancang bentuk pendidikan yang memungkinkan anak nelayan dapat sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, dan sekaligus dapat membantu orang tuanya bekerja di laut.<br />Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk diberikan kepada anaknya antara lain berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga, dengan harapan kelak anaknya dapat mengangkat harkat dan martabat orang tuanya sekaligus mengangkat taraf hidup masyarakat nelayan.<br />Keterampilan khusus yang diinginkan orang tua untuk anak perempuannya, antara lain menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang, dengan harapan selain membantu ibunya anak perempuan nelayan pada suatu saat nanti dapat memacu kreativitasnya untuk bekerja di bidang lain, selain sebagai anak nelayan.<br />Posisi sekolah di lapangan ternyata cukup strategis, mudah dijangkau walaun mungkin hanya jalan stapak, ataupun malah becek dan berlumpur..<br />Masyarakat nelayan memiliki sifat khusus yang memungkinkan anak tidak dapat sekolah karena lebih banyak membantu orang tua kelaut. Selain itu rendahnya tingkat pengetahuan membuat rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan. Kondisi seperti ini diperparah lagi dengan tidak adanya perencanaan pengelolaan keuangan yang baik untuk masa depan, dan tidak terpacunya kreativitas karena kepasrahan dan terbatasnya wawasan meningkatkan taraf hidup mereka sendiri<br />Model yang diadopsi untuk pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan adalah model pendidikan berbasis kebutuhan komunitas dan berbasis masyarakat nelayan dengan menyadarkan masyarakat nelayan akan pentingnya pendidikan bagi generasi penerus<br /><br />G. SARAN<br /><br />Sebaiknya anak nelayan memasuki sekolah non formal yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan dasar bagi anak nelayan<br />Pemerintah perlu turun tangan untuk memotivasi masyarakat nelayan perduli terhadap anak didik yang drop out, dengan caramenunjukan keberhasl pendidikanakan meningkatkan teraf hidup generasi penerus.<br />Perlu dicari jalan keluar untuk meningkatkan fasilitas sekolah, yang kemungkinan besar dapat diatasi melalui program perduli sekolah nelayan<br />Para tokoh nelayan dikut sertakan dalam merancang bentuk pendidikan yang memungkinkan anak nelayan dapat sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri<br />Perlu disusun materi pelajaran yang dapat memacu anak didik berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan dasar bagi anak nelayan<br />Perlu direspons kebutuhan keterampilan khusus bagi anak perempuan nelayan yang memacu terbantuknya pembentukan sikap mandiri.<br />Posisi sekolah di lapangan yang ternyata cukup strategis tersebut sebaiknya dibarengi dengan perbaikan jalan masuk ke sekola tersebut<br />Perlu disadarkan masyarakat nelayan tentang pentingnya pendidikan dan perencanaan yang baik tentang pengelolaan keuangan untuk masa depan, dan memacu kreativitas untuk meningkatkan taraf hidup mereka sendiri.<br />Untuk mewujudkan model pendidikan dasar bagi anak nelayan perlu dikembangkan model pendidikan non formal yang mampu menyelesaikan masalah yang terjadi pada masyarakat nelayan, yang responsif terhadap penyelesaian problem pendidikan sesuai dengan konteks masyarakat nelayan itu sendiri<br /><br /><br />H. REKOMENDASI<br /><br />Bentuk model pembelajaran yang direkomendasikan adalah sebagai berikut:<br />Model pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan yang akan dikembangkan merupakan model pendidikan non formal yaitu pendidikan dasar yang mampu menyelesaikan masalah yang terjadi pada masyarakat nelayan, yang responsif terhadap penyelesaian problem pendidikan sesuai dengan konteks masyarakat nelayan itu sendiri.<br />Dalam model pendidikan dasar ini dibentuk Sanggar Pembelajaran yang dikelola oleh warga nelayan, seperti home scholing dan dilaksanakan oleh kelompok kecil warga nelayan, yang terdiri dari 2-3 keluarga. Dari berbagai Sanggar Pembelajaran ini disatukan lagi dalam kelompok yang lebih besar yang diberi nama Kelompok Sanggar Komunitas Nelayan (KSKN), yang terdiri dari 10 Sanggar Pembelajaran. Dari berbagai KSKN tersebut disatukan dalam wadah Pendidikan Dasar Anak Nelayan (PDAN), yang selanjutnya dihubungkan dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) seperti Paket A dan B untuk mendapatkan legalitas sertifikat telah mengikuti pendidikan dasar. Sertifikat ini dapat digunakan untuk melanjtkan pada pendidikan mengah. Berkenaan dengan tenaga pendidik yang bertugas sebagai pembina dan tutor diusulkan untuk mendapat banruan dari Diknas setempat.<br />Model ini perlu dikembangkan lagi, dan model ini belum diuji cobakan. Oleh karena itu agar hasil pengembangan model ini menjadi lebih baik perlu dilakukan penelitian yang berkelanjutan dan lebih memperluas lokasi penelitian.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Himpitan Rentenir http://www.antara.co.id/arc/2007/3/26/nelayan-bayah-lebak-di-tengah-himpitan-rentenir<br /><br />Indrawadi, (2009)Nasib Nelayan dan Potensi Kelautan http://www.geocities.com/minangbahari/artikel/nasibnelayan.html<br /><br />Kearifan Tradisional Masyarakat Nelayan Lindungi Laut Kompas.Com Kamis, 26 Maret 2009, Jakarta<br /><br />Mansur dan Mulyana (2007) Himpitan Rentenir </span><a href="http://www.antara.co.id/arc/2007/3/26/"><span style="font-family:trebuchet ms;color:#000066;">http://www.antara.co.id/arc/2007/3/26/</span></a><span style="font-family:trebuchet ms;color:#000066;"> nelayan-bayah-lebak-di-tengah-himpitan-rentenir<br /><br />Ninda, Model Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Miskin Dalam Pengembangan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Laut Universitas Bengkulu<br /></span><a href="http://www.inherent-unib.net/simawa"><span style="font-family:trebuchet ms;color:#000066;">http://www.inherent-unib.net/simawa</span></a><span style="font-family:trebuchet ms;color:#000066;">, Generated: 18 March, 2009, 16:18<br /><br />Pangeman, Adrian P dkk (2002).Sumber Daya Manusia (Sdm) Masyarakat Nelayan<br />Makalah Kelompok A /TKL-Khusus Program Pasca Sarjana IPB </span><a href="http://tumoutou.net/702_05123/group_a_123.htm"><span style="font-family:trebuchet ms;color:#000066;">http://tumoutou.net/702_05123/group_a_123.htm</span></a><br /><span style="font-family:trebuchet ms;color:#000066;"><br /></span><a href="http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=7#bawah"><span style="font-family:trebuchet ms;color:#000066;">Solihin</span></a><span style="font-family:trebuchet ms;color:#000066;"> A., (2004) Musim Paceklik Nelayan dan Jaminan Sosial<br /></span><a href="http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=7"><span style="font-family:trebuchet ms;color:#000066;">http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=7</span></a><span style="font-family:trebuchet ms;color:#000066;"> diakses tanggal 27 Maret 2009<br />Ulumuddin, Ihya (2009) “Duapuluh Persen Nelayan Sumut Tidak Melaut” Analisa, analisadaily.com Selasa, 27 Januari 2009 </span></div>IKATAN PENGEMBANG TEKNOLOGI PENDIDIKAN INDONESIAhttp://www.blogger.com/profile/15690844411253954621noreply@blogger.com0