KAJIAN MODEL PENDIDIKAN DASAR UNTUK ANAK MASYARAKAT NELAYAN DI SUMATERA UTARA T.A. 2009
Prof. Dr. Muhammad Badiran, M.Pd
Abstrak
Nelayan tradisional berjuang keras melawan terpaan gelombang laut yang dahsyat pada saat pasang naik untuk mendapatkan ikan, namun mereka terus berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan. Walaupun demikian nelayan tetap bisa bertahan karena didorong semangat hidup yang kuat dengan motto kerja keras agar kehidupan mereka menjadi lebih baik. Waktu yang dapat dimanfaatkan nelayan untuk melaut hanya 20 hari selama sebulan, sisanya mereka relatif menganggur. Berarti, waktu benar-benar dibutuhkan untuk pergulatan hidup sehingga tidak terpikirkan untuk duduk dibangku sekolah. Menjelang usia remaja anak-anak nelayan akan mengikuti ayahnya melaut sehingga mereka meninggalkan bangku sekolah. Oleh karena itu bagi anak-anak nelayan yang sudah menginjak usia remaja diharapkan telah selesai menempuh pendidikan dasar. Melalui pengalaman belajar anak nelayan yang diperoleh dari pendidikan dasar tersebut, akan membantu orang tua untuk memahami teknologi maju dan menyadarkan orang tua perlunya pendidikan untuk meningkatkan harkat dan martabat kehidupan masyarakat nelayan. Kini dipertanyakan bagaimanakah model pendidikan dasar bagi anak masyarakat nelayan?
A. PENDAHULUAN
Sejak dari dahulu sampai sekarang, pekerjaan nelayan merupakan pekerjaan turun temurun dan umumnya tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Dalam masyarakat nelayan ditemukan adanya kelas pemilik dan kelas pekerja. Kelas pemilik yang dapat dinyatakan sebagai juragan, kesejahteraannya relatif lebih baik karena menguasai faktor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap maupun faktor pendukungnya seperti es, garam dan lainnya. Kelas pekerja atau penerima upah dari pemilik merupakan mayoritas, dan kalaupun mereka berusaha memiliki sendiri alat produksi, umumnya masih sangat konvensional, sehingga produktivitasnya kurang berkembang, “...kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan”. (Ninda, 2009). Menurut data, jumlah nelayan di Sumut sekitar 321.000 orang yang tersebar di 13 kabupaten dan kota, dan dari jumlah tersebut, nelayan tradisional mencapai 70 persen, nelayan menengah 20 persen dan nelayan skala besar 10 persen. Berarti, nelayan yang termarginalkan adalah sekitar 70 persen dari jumlah nelayan (sekitar 224 ribu lebih) nelayan masih berada di bawah garis kemiskinan. (Ulumuddin, 2009) Dengan demikian pembahasan masyarakat nelayan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah nelayan tradisonal.
Waktu bekerja nelayan harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari satu bulan namun sayangnya yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari, sisanya
mereka relatif menganggur. Kenyatannya, bila perairan di Sumatera utara dilanda angin barat daya yang bertiup cukup kencang, mengakibatkan terjadi ombak besar, khususnya di wilayah pantai barat seperti Sibolga, Tapanuli Tengah, Nias dan Tapanuli Selatan dengan ketinggian sekitar empat meter. Sedangkan di wilayah pantai timur seperti Belawan, Deli Serdang, Asahan dan Tanjung Balai, ketinggian ombaknya sekitar dua meter. Kondisi itu menyebabkan nelayan di Sumut yang umumnya masih tergolong nelayan tradisional tidak berani melaut karena khawatir terhadap keselamatan jiwa. Namun, sebagian nelayan tetap memaksakan diri melaut meski harus menghadapi besarnya ombak dan tidak mendapatkan ikan yang cukup banyak. Kelompok nelayan ini tetap memaksakan diri karena kebutuhan rumah tangga disebabkan tidak memiliki uang pada masa kritis. "Mereka (nelayan) berprinsip, lebih baik mati di laut dari pada dapur tidak berasap," (Ulumuddin, 2009).
Nampaknya masyarakat nelayan sulit dilepaskan dari jebakan kemiskinan, karena mereka sering dihadapkan pada musim paceklik, dan untuk mengatasi masalah di musim paceklik ini, berbagai usaha dilakukan nelayan, contohnya adalah mereka menjual perhiasan istri demi menyambung hidup keluargnya ataupun meminjam pada rentenir (Solihin, 2004). Potret kehidupan nelayan kecil di pesisir memang belum terlepas dari jerat rentenir, bahkan kian hari jerat itu dirasakan semakin melilit. Utang ke rentenir telah membuat nelayan terjebak dalam kemiskinan terstruktur, sehingga kehidupan nelayan tak kunjung sejahtera. Lebih parah lagi, ”pulang melaut umumnya para nelayan hanya cukup membeli beras sebanyak dua liter”, karena tersangkut pinjaman rentenir dengan bunga yang ditetapkan mereka. (Sinar Indonesia Baru, 27 Maret 2008)
Umumnya, nelayan bisa bertahan hanya dan hanya jika didorong semangat hidup yang kuat dengan motto kerja keras agar kehidupan mereka menjadi lebih baik. Nelayan tradisional berjuang keras melawan terpaan gelombang laut yang dahsyat pada saat pasang naik untuk mendapatkan ikan. Dengan hanya mengandalkan kemampuan mesin dompeng misalnya, nelayan dapat berada pada radius 500 M dari pinggir pantai dan dengan cara seperti ini nelayan akan mendapatkan lebih banyak dibandingkan dengan bila menangkap ikan di bibir (tepi pantai) pada radius 200 M, yang ikannya sudah langka. (Kompas Com, 26 Maret 2009)
Pekerjaan menangkap ikan dikerjakan oleh lelaki karena merupakan pekerjaan yang penuh resiko, sehingga keluarga yang lain tidak dapat membantu secara penuh. Kalaupun nelayan pekerja memiliki alat produksi sendiri ternyata alat tangkap ikan yang dimiliki tersebut belum dilengkapi dengan alat teknologi tangkap ikan, dan modal usaha, sehingga penghasilannya tidak seperti bila mereka menggunakan alat teknologi tangkap ikan yang baik. Bagi para nelayan memang tidak ada pilihan lain, karena pekerjaan yang berhadapan dengan ancaman gelombang laut, ombak, cuaca, dan kemungkinan terjadi karam saat akan melaut ke tengah lautan untuk menangkap ikan adalah pekerjaan turun temurun tanpa pernah belajar sebagai nelayan yang modern. Dengan demikian sangat diharapkan sekali walaupun harapan tersebut :...bagaikan kerakap tumbuh di batu, bahwa mereka perlu modal usaha untuk perbaikan dan peningkatan kesejahteraan hidup.(Pangeman, Adrian P dkk. 2002). Kenyataannya, pada usia meningkat remaja anak nelayan mulai diajak berlayar dan ikut melaut, sehingga merka jarang yang sekolah. Kini harus dipahami bahwa kehidupan nelayan memerlukan perhatian yang multi dimensi. Tantangan yang terbesar adalah bagaimana membangun kehidupan nelayan menjadi meningkat kesejahterannya. Besar kemungkinannya hal ini dapat dicapai melalui pendidikan yang akan mengangkat harkat dan martabat kehidupan masyarakat nelayan maupun masyarakat lainnya yang terkait dengan sumber daya kelautan dan pesisir. “Usaha ke arah ini haruslah bermuara pada peningkatan kemakmuran nelayan, terutama nelayan kecil dan petani ikan” (Indrawadi, 2009).
Dengan demikian, masalah sosial budaya yang terdapat pada kehidupan nelayan antara lain adalah: a) Rendahnya tingkat pendidikan, b) Miskin pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaannya, c) Kurangnya tersedia wadah pekerjaan informal dan d) Kurangnya daya kreativitas, serta e) Belum adanya perlindungan terhadap nelayan dari jeratan para tengkulak.
Melihat kondisi kehidupan nelayan yang tidak memungkinkan anak nelayan memasuki sekolah formal karena keberadaan anak nelayan dimaksudkan untuk membntu ayahnya mencari ikan ke laut. Kini dlpertanyakan bagaimanakah model pendidikan bagi anak nelayan, apakah pendidikan anak nelayan memerlukan pendidikan khusus sebagaimana halnya juga dengan anak petani miskin yang membantu orang tuanya di sawah? Melihat kehadiran anak nelayan di sekolah formal lebih banyak absennya karena ikut melaut membantu orang tuanya, apakah anak nelayan perlu mendapat pendidikan khusus di sekolah formal? Ataukah anak nelayan diberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan membantu orang tua kelaut?
Pemberdayaan anak nelayan ternyata tidak bisa diseragamkan, tetapi harus disesuaikan dengan kondisi aktual masyarakat setempat. Misalnya saja pendidikan manajemen keuangan yang diharapkan memungkinkan mereka terbebas dari jeratan tengkulak, harus diberikan dengan memperhatikan budaya dan kondisi psikologis mereka. Jika ini tidak diperhatikan, dipastikan program pemberdayaan pendidikan akan gagal karena pemberdayaan pendidikan anak nelayan tidak terlepas dari pemberdayaan masyarakat pesisir. Persoalan yang dihadapi adalah, sebagian masyarakat pesisir masihberanggapan bahwa pendidikan itu tidak penting. Yang perlu dilakukan adalah membalik paradigma nelayan selama ini, dengan menyatakan bahwa pendidikan itu penting.
Dengan demikian beralasanlah bila anak nelayan perlu dicarikan model pendidikan dasar yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan kehidupan mereka. Kini dipertanyakan bagaimanakah model pendidikan dasar yang sesuai bagi anak nelayan? Melalui penelitian khusus untuk pendidikan dasar bagi anak masyarakat nelayan, akan terungkap kemungkinan bentuk pendidikan yang sesuai bagi masyarakat nelayan.
Masyarakat nelayan dalam penelitian ini adalah masyarakat nelayan trdisional Sumatera Utara. Model yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah model pendidikan dasar bagi anak nelayan, bukanlah model pendidikan dasar pada sekolah formal, dan kemungkian besar berbeda dengan pendidikan dasar yang sudah ada. Kini masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah alternatif model pendidikan dasar pada masyarakat nelayan? Tujuan penelitian ini adalah mengkaji model pendidikan dasar untuk anak masyarakat nelayan agar mereka dapat sekolah dan terpenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat nelayan, dan lebih jauh lagi pada gilirannya kelak mereka akan terbebas dari kemiskinan.
B. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik yakni suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang realitas pada obyek yang diteliti secara obyektif. Penelitian ini menekankan pada satu variabel yakni pengembangan model pendidikan berbasis kompetensi bagi anak usia sekolah pada masyarakat nelayan.
Penelitian ini dilakukan di tiga lokasi yaitu, Tanjung Balai, Serdang Bedagai, dan Langkat/ Pemilihan lokasi penelitian ini dimaksudkan karena agar informasi yang diperoleh dapat mewakili nelayan di Sumatera Utara. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh nelayan yang menempati pesisisr pantai Sumtera Utara yang diwakili oleh sampel yang diambil secara purposif terhadap nelayan di Tanjung Balai, Nelayan Serdang Bedagai dan Nelayan Langkat, dengan cara Accidental sample yaitu teknik pengambilan sample berdasarkan kesediaan responen untuk mengisi kuesioner baik dari sisi waktu dan pemikiran, dan masing-masing daerah ditentukan sampel adalah 50 orang. Sehingga besar sampel adalah 150 orang.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang digunakan untuk memperoleh informasi responden dalam arti tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui dalam penelitian.Pengamatan (observasi), yaitu teknik pengumpulan data melalui pengamatan langsung kepada obyek penelitian dilakukan bersamaan dengan teknik lain untuk mengamati keadaan fisik, lokasi atau daerah penelitian secara sepintas lalu (on the spot) dan dengan melakukan pencatatan seperlunya. Teknik analisis deskriptif dalam hal ini antara lain penyajian data melalui tabel atau grafik. Perhitungan data dengan menggunakan frekuensi dan penggunaan prosentase.
C. HASIL PENELITIAN
Berdasarkan dari hasil survey di apangan terhadap kehidupan masyarakat nelayan, ditemukan berbagai data sebegai berikut:
1. Jenjang, Jumlah Dan Angka Drop Out
Tabel 1. Jumlah Siswa Yang Drop Out
Jenjang Pendidikan Sekolah
Jumlah Sekolah
Drop Out
%
SD Negeri
SD Swasta
SMP Negeri
SMP Swasta
28
1
2
6
240
180
58
260
32.52
24.39
7.86
35.23
Total
738
100
Dari Tabel 1 dapat terlihat bahwa jumlah siswa drop out untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama baik negeri maupun swasta adalah sebesar 738 orang, dan untuk SD Negeri siswa yang drop out adalah 32,52 persen dari keseluruhan siswa yang drop out, sedangkan pada SD swasta terdapat sekitar 24,39 persen dari keseluruhan siswa yang drop out. Hal ini berarti disekolah dasar negeri walaupun persentasinya lebih besar namun bila dibandingkan dengan jumlah SD Negeri yang ada (28 SD Negeri), ternyata lebih kecil jumlah siswa yang drop out dibandingkan dengan SD swasta (1 buah SD Swasta). Demikian pula halnya dengan persentase siswa SMP yang drop out, ternyata siswa yang drop out pada SMP Swasta lebih besar dibandingkan dengan persentase siswa yang drop out di SMP Negeri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa yang drop out baik untuk SD maupun SMP ternyata lebih banyak siswa yang drop out di SMP Swasta dibandingkan dengan siswa yang drop out di sekolah negeri.
2. Mata Pencarian Orang Tua
Tabel 2. Mata Pencarian Orang Tua Siswa
Pekerjaan Orang Tua
Persentase
Nelayan yg memiliki boat
Nelayan yg memilki perahu
Buruh Nelayan
Pedagang
Petani
Buruh Petani
PNS
ABRI
15
20
15
8
15
20
5
2
Total
100
Dari Tabel 2 dapat terlihat bahwa mata pencarian orang tua siswa bervariasi, dari nelayan sampai dengan ABRI. Ternyata mata pencarian orang tua siswa sekitar 50 persen terdiri dari nelayan, selebihnya yaitu sekitar separuhnya, adalah Pedagang, Petani, Buruh Petani, PNS, dan ABRI. Dari 50 persen mata pencarian orang tua murid adalah nelayan, ternyata lebih banyak nelayan tradisional dan buruh nelayan dibandingkan dengan nelayan modern (mengunakan boat) yang menyekolahkan anaknya. Hal ini berarti baik nelayan modern maupun tradisonal dan buruh nelayan, menginginkan anaknya bersekolah. Namun karena kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, maka dapat diduga siswa yang drop out adalah lebih banyak berasal dari anak nelayan
Tabel 3. Masyarakat Nelayan dalam Pendidikan
Aktivitas
Respons
1. Dukungan orang tua, masyarakat, dalam mendorong dan membantu anaknya sekolah
Cukup
2. Peran masyarakat thdp anak yang drop out di lingkungan masyarakat
Tidak ada
3. Pemanfaatan fasilitas lingkungan untuk anak usia sekolah di lingkungan
Cukup memadai
4. Hubungan masyarakat sekitar sekolah dengan sekolah dalam mendorong anak-anak usia sekolah belajar di sekolah
Cukup Memuaskan
Dari Tabel 3 terlihat bahwa dukungan orang tua, masyarakat, dalam mendorong dan membantu anaknya sekolah adalah cukup, yang berarti masyarakat nelayan berkeinginan agar anaknya sekolah, walaupun dengan kondisi yang pas-pasan dan terkadang karena kebutuhan hidup akhirnya anak nelayan menjadi drop out, tidak sekolah lagi. Lebih parah lagi ternyata peran masyarakat terhadap anak yang drop out di lingkungan masyarakat, tidak ada dan kemungkinan besar masing-masing keluarga disibuki oleh kesibukannya masing-masing untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan fasilitas lingkungan untuk anak usia sekolah di lingkungan dapat dinyatakan cukup memadai, yang berarti tidak rotan akarpun jadi, paling tidak fasilitas yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin walaupun tidak mencukupi. Berkenaan dengan hubungan masyarakat sekitar sekolah dengan sekolah dalam mendorong anak-anak usia sekolah belajar di sekolah, dapat dinyatakan cukup memuaskan. Hal ini berarti bahwa keberadaan sekolah di lokasi nelayan tersebut memberi pengaruh yang baik bagi masyarakat nelayan karena mereka juga mendapat imbasnya dari kecerdasan anak-anak yang telah bersekolah. Hanya kondisi dan kebutuhan serta kebiasaan nelayan sajalah yang membuat terjadinya siswa yang drop out tersebut.
3. Pandangan orang tua dan anak nelayan
Tabel 4. Pandangan Orang Tua terhadap Pendidikan
Aktivitas Nelayan
Respons
1. Motivasi Nelayan untuk menyekolahkan anaknya.
2. Harapan nelayan terhadap anak lelakinya.
3. Harapan nelayan terhadap anak perempuannya
4. Model pendidikan yang diinginkan nelayan (formal atau non formal),
5. Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk diberikan kepada anaknya:
6. Keterampilan khusus yang diinginkan orang tua diberikan guru terhadap anaknya,
7. Pemahaman Nelayan tentang Pendidikan anak nelayan
Kurang sekali
Membantu orang tua kelaut
Membantu ibunya di rumah Non formal
Berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga.
Menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang kurang sekali
Dari Tabel 4 terlihat bahwa motivasi Nelayan untuk menyekolahkan anaknya, kurang sekali, hal ini berarti para nelayan perlu dimotivasi agar anaknya diberi kesempatan untuk sekolah pada masa usia sekolah. Namun karena keterbatasannya kebanyakan anak nelayan terpaksa membantu orang tuanya melaut. Dari data tentang harapan nelayan terhadap anak lelakinya hanyalah dapat membantu orang tua kelaut, dan untuk anak perempuan membantu ibunya di rumah. Hal ini berarti menjelang usia remaja seharusnya anak nelayan tadi telah menamatkan sekolahnya pada sekolah dasar, sehingga pengetahuan yang diperolehnya dapat dimanfaatkan untuk membantu orang tuanya mencari nafkah di laut.
Berkenaan dengan model pendidikan yang diinginkan nelayan, dari hasil wawancara ternyata sebaiknya anak nelayan dapat sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, yaitu model sekolah non formal, sehingga anak nelayan dapat bersekolah dan sekaligus dapat membantu orang tuanya bekerja di laut.
Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk diberikan kepada anaknya antara lain berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga. Dengan memiliki pengetahuan dan kompetensi seperti ini, diharapkan kelak anaknya dapat mengangkat harkat dan martabat orang tuanya sekaligus mengangkat taraf hidup masyarakat nelayan. Berkenaan dengan keterampilan khusus yang diinginkan orang tua, yang diberikan guru terhadap anak perempuannya, antara lain menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang.Hal iniberarti selain membantu ibunya anak perempuan nelayan pada suatu saat nanti dapat emacu kreativitasnya untuk bekerja bidang lain, selain sebagai anak nelayan. Sayangnya pemahaman nelayan tentang pendidikan anak, ternyata kurang sekali, bertani nelayan hanya pasrah agar anaknya sekolah apa saja, yang penting kelak anaknya dapat menopang kehidupan orang tuanya lebiha baik dibandingkan dari kehhidupan saat ini.
Dengan demikian pada saat ini pandangan orang tua terhadap pendidikan anaknya sangat kurang sekali, juga pandangan anaknya terhadap pendidikan kurang sekali, karena lingkunganya mempengaruhi, dan adanya suatu tekad dapat ikutserta membantu orang tua ke laut
4. Partisipasi Masyarakat
Dari hasil wawancara dengan para tokoh masyarakat nelayan ternyata pandangan masyarakat terhadap pentingnya pendidikan anak nelayan sangat kurang dan tidak ada peran masyarakat terhadap usaha meninkatkan pendidikan anak nelayan. Hal ini berarti perlu usaha memberikan inovasi paradigma berpikir masyarakat nelayan agar mau memperdulikan pendidikan anaknya, agar anaknya dapat memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan orang tuanya sendiri. Perlu dibangkitkan partisipasi masyarakat nelayan yang cukup kuat untuk mengadopsi paradigma berpikir nelayan agar lebih maju dan bermartabat sebagai akibat berubahnya pemikiran nelayan terhadap kebutuhan pendidikan bagi anak nelayan.
5. Tenaga Kependidikan dan Pembelajaran
Tabel 5. Latar belakang pendidikan guru
Aktivitas Nelayan
Respons
Motivasi Nelayan untuk menyekolahkan anaknya.
2. Harapan nelayan terhadap anak lelakinya.
3. Harapan nelayan terhadap anak perempuannya
4. Model pendidikan yang diinginkan nelayan
5. Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk
diberikan kepada anaknya:
6. Keterampilan khusus yang diinginkan orang tua
7. Pemahaman Nelayan ttg Pendidikan anak nelayan
Kurang sekali
Membantu orang tua kelaut
Membantu ibunya di rumah
Pendidikan Non formal
Berhitung, menulis, membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia,
Mengelola uang dan olah raga.
menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang
kurang sekali
Pendidikan Guru
Persentasi
SPG/PGA
PGSD D2
Sarjana IKIP Medan
Sarjana non IKIP
Sarjana Pendidikan
Sarjana non pendidikan
Sarjana Agama Islam
Dan lain-lain
30
20
10
15
10
5
5
5
Total
100
Dari Tabel 5 terlihat bahwa kualifikasi tenaga kependidikan cukup bervariasi. Tenaga pendidik berkualifikasi dari tamatan SPG/PGA sampai dengan sarjana agama Islam, bahkan profesi lain turut berperan dalam membangun kecerdasan bagi masyarakat nelayan. Sarjana non pendidikan hanya sekitar 5 persen saja dan Sarjana Agama Islam, dan profesi lain-lain berkisar samapai 10 persen. Hal ini berarti tenaga sarjana kependidikan lebih banyak berperan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat.
6. Pelatihan, sarana, dan kondisi lingkungan
Pelatihan bagi guru diperlukan untuk meningkatkan keterampilan proses belajar mengajar, yang biasanya dilakukan bergiliran sesuai dengan kebutuhan sekolah. Sarana sekolah secara keseluruhan dapat dinyatakan ada, walaupun sekedar memenuhi persyaratan adanya suatu sekolah, namun bagi sekolah yang dapat menghidupi sekolahnya sendiri, terlihat tidak begitu mengecewakan kondisi sarana di sekolah tersebut.
7. Infra Struktur Pendidikan
a. Ketersedian kelengkapan sekolah dapat dinyatakan cukup, walaupun di sana sini masih menunjukan keprihatinan, namun ada juga yang sudah meningkat dan dapat dikedepankan.
Tabel 6. Akses Jalan Masuk Ke Sekolah
Akses jalan ke sekolah
Jalan aspal Kelas kecamatan
Jalan pengerasan dengan pasir dan batu
Jalan becek dan berlumpur
Jalan setapak
Berkenaan dengan jalan masuk ke sekolah dapat dinyatakan bervariasi. Ada sekolah yang mudah mencapainya karena terletak pada jalan spal kelas kecamatan, namun ada juga jalan masuk ke sekolahnya hanya alan pengerasan dengan pasir dan batu. Bahkan lebih memprihatinkan lagi karena jalan masuk ke sekolahnya becek dan berlumpur ataupun hanya jalan stapak. Hal ini merupakan pertanda bahwa jalan masuk ke sekolah perlu diperbaiki ataupun ditingkatkan menjadi lebih baik lagi agar baik guru maupun siswa merasa senang dan betah ke sekolah
b. Posisi strategis sekolah
Hal lain yang perlu diperhatikan, ternyata posisi sekolah di lapangan ternyata cukup strategis, mudah dijangkau walaun mungkin hanya jalan stapak, ataupun malah becek dan berlumpur. Kini hanya menungu uluran tangan penguasa untuk ,membenahi sekolah-sekolah tersebut.
D. DISKUSI HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil temuan dilapangan ternyata siswa yang drop out baik untuk SD maupun SMP ternyata lebih banyak siswa yang drop out di SMP Swasta dibandingkan dengan siswa yang drop out di sekolah negeri. Selain itu baik nelayan modern maupun tradisonal dan buruh nelayan, menginginkan anaknya bersekolah. Namun karena kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, maka dapat diduga siswa yang drop out adalah lebih banyak berasal dari anak nelayan. Masyarakat nelayan berkeinginan agar anaknya sekolah, walaupun dengan kondisi yang pas-pasan dan terkadang karena kebutuhan hidup akhirnya anak nelayan menjadi drop out, tidak sekolah lagi. Sayangnya tidak ada peran masyarakat yang perduli terhadap anak yang drop out tersebut, hal ini mungkin masing-masing keluarga larut oleh kesibukannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Fasilitas yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin walaupun tidak mencukupi, dan dorongan untuk sekolah, cukup memuaskan, sehingga keberadaan sekolah dirasakan berdampak pada meningkatnya kecerdasan anak-anak yang telah bersekolah. Hanya kondisi dan kebutuhan serta kebiasaan nelayan sajalah yang membuat terjadinya siswa yang drop out tersebut
Berkenaan dengan model pendidikan yang diinginkan nelayan, dari hasil wawancara terhadap para tokoh nelayan, dinyatakan bahwa perlu dirancang bentuk pendidikan yang memungkinkan anak nelayan dapat sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, seperti sekolah non formal, sehingga anak nelayan dapat bersekolah dan sekaligus dapat membantu orang tuanya bekerja di laut.
Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk diberikan kepada anaknya antara lain berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga, dengan harapan kelak anaknya dapat mengangkat harkat dan martabat orang tuanya sekaligus mengangkat taraf hidup masyarakat nelayan. Keterampilan khusus yang diinginkan orang tua untuk anak perempuannya, antara lain menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang, dengan harapan selain membantu ibunya anak perempuan nelayan pada suatu saat nanti dapat memacu kreativitasnya untuk bekerja di bidang lain, selain sebagai anak nelayan. Sayangnya pemahaman nelayan tentang pendidikan anak, ternyata kurang sekali, yang penting kelak anaknya dapat menopang kehidupan orang tuanya lebih baik dibandingkan dari kehidupan saat ini.
Perlu dibangkitkan partisipasi masyarakat nelayan yang cukup kuat untuk mengadopsi paradigma berpikir nelayan agar lebih maju dan bermartabat sebagai akibat berubahnya pemikiran nelayan terhadap kebutuhan pendidikan bagi anak nelayan. Sementara itu tenaga pendidik yang tersedia mengelola pendidikan bagi anak nelayan cukup baik ditandai dengan telah berperannya tenaga sarjana kependidikan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat. Dari pantauan terhadap posisi sekolah di lapangan ternyata cukup strategis, mudah dijangkau walaun mungkin hanya jalan stapak, ataupun malah becek dan berlumpur. Kini hanya menungu uluran tangan penguasa untuk ,membenahi sekolah-sekolah tersebut. Dengan demikian dapat dibutiri dari hasil diskusi tentang pendidikan anak nelayan bahwa masyarakat nelayan memiliki sifat khusus yang berbeda dengan masyarakat non nelayan, yang memungkinkan anak tidak dapat sekolah karena lebih banyak membantu orang tua kelaut. Selain itu rendahnya tingkat pengetahuan membuat rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan. Kondisi seperti ini diperparah lagi dengan tidak adanya perencanaan pengelolaan keuangan yang baik untuk masa depan, dan tidak terpacunya kreativitas karena kepasrahan dan terbatasnya wawasan meningkatkan taraf hidup mereka sendiri.
E. MODEL PENDIDIKAN ANAK NELAYAN
Mengingat masyarakat nelayan adalah masyarakat yang memiliki sifat-sifat khusus, baik dari segi pemahaman terhadap pendidikan, tingkat kesejahteran, miskinnya pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaan, kurang kreatif, maupun kurang terencana manajemen keuangan untuk menentukan masa depan, maka model yang dianut adalah model pemberdayaan nelayan melalui pendidikan berbasis kebutuhan komunitas dan berbasis masyarakat nelayan. Konsep pendidikan berbasis komunitas nelayan pada dasarnya mengacu kepada konsep pemberdayaan komunitas nelayan, yaitu bagaimana membuat komunitas pada masyarakat nelayan memiliki pandangan perlunya pendidikan dasar bagi anak nelayan. Hal ini disebabkan sebagian masyarakat pesisir masih beranggapan bahwa pendidikan itu tidak penting dan kini saatnya menyadarkan masyarakat nelayan bahwa bahwa pendidikan itu penting.
Pada tahun 1970-an Ivan Illich pernah melontarkan gagasan kontroversial tentang masyarakat tanpa sekolah (Deschooling Society). Illich meramalkan, jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar, institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial budaya yang luas, tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah. Jadi pengorganisasian pendidikan sistem formal bukanlah menjadi satu-satunya jalan keluar. Oleh karena itu model pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan yang harus dikembangkan merupakan model pendidikan non formal yaitu pendidikan dasar yang mampu menyelesaikan masalah yang terjadi pada masyarakat nelayan, yang responsif terhadap penyelesaian problem pendidikan sesuai dengan konteks masyarakat nelayan itu sendiri.
Dalam model pendidikan dasar ini dibentuk Sanggar Pembelajaran yang dikelola oleh warga nelayan, seperti home scholing dan dilaksanakan oleh kelompok kecil warga nelayan, yang terdiri dari 2-3 keluarga. Dari berbagai Sanggar Pembelajaran ini disatukan lagi dalam kelompok yang lebih besar yang diberi nama Kelompok Sanggar Komunitas Nelayan (KSKN), yang terdiri dari 10 Sanggar Pembelajaran. Dari berbagai KSKN tersebut disatukan dalam wadah Pendidikan Dasar Anak Nelayan (PDAN), yang selanjutnya dihubungkan dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) seperti Paket A dan B untuk mendapatkan legalitas sertifikat telah mengikuti pendidikan dasar. Sertifikat ini dapat digunakan untuk melanjtkan pada pendidikan mengah. Berkenaan dengan tenaga pendidik yang bertugas sebagai pembina dan tutor diusulkan untuk mendapat banruan dari Diknas setempat.
E. KETERBATASAN PENELITIAN
Bagaimana baiknya hasil suatu penelitian kenyatannya tetap saja ada keterbatasa hasil penelitian yang tidak bisa dielakkan. Mengingat lokasi penelitian hanya dilaksanakan pada tida lokasi desa nelayan yaitu di Tanjung Balai, Serdang Bedagai dan langkat, maka untuk generalisasi hasil penelitian ini perlu dilakukan dengan hati-hati. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan penelitian awal penjajagan untuk merancang model pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan. Walaupun demikian model yang ditemukan dari hasil penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan meninjau berbagai hasil penelitian yang menunjang.
F. SIMPULAN,
Banyak siswa pendidikan dasar yang drop out dari sekolah formal dan umumnya berasal dari anak nelayan.
Kurangnya peran masyarakat terhadap anak didik yang drop out kemungkinan besar masing-masing keluarga larut oleh kesibukannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Fasilitas yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin walaupun tidak mencukupi, dan dorongan untuk sekolah, cukup memuaskan, karena keberadaan sekolah dirasakan berdampak pada meningkatnya kecerdasan anak-anak yang telah bersekolah.
Para tokoh nelayan menginginkan perlunya merancang bentuk pendidikan yang memungkinkan anak nelayan dapat sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, dan sekaligus dapat membantu orang tuanya bekerja di laut.
Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk diberikan kepada anaknya antara lain berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga, dengan harapan kelak anaknya dapat mengangkat harkat dan martabat orang tuanya sekaligus mengangkat taraf hidup masyarakat nelayan.
Keterampilan khusus yang diinginkan orang tua untuk anak perempuannya, antara lain menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang, dengan harapan selain membantu ibunya anak perempuan nelayan pada suatu saat nanti dapat memacu kreativitasnya untuk bekerja di bidang lain, selain sebagai anak nelayan.
Posisi sekolah di lapangan ternyata cukup strategis, mudah dijangkau walaun mungkin hanya jalan stapak, ataupun malah becek dan berlumpur..
Masyarakat nelayan memiliki sifat khusus yang memungkinkan anak tidak dapat sekolah karena lebih banyak membantu orang tua kelaut. Selain itu rendahnya tingkat pengetahuan membuat rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan. Kondisi seperti ini diperparah lagi dengan tidak adanya perencanaan pengelolaan keuangan yang baik untuk masa depan, dan tidak terpacunya kreativitas karena kepasrahan dan terbatasnya wawasan meningkatkan taraf hidup mereka sendiri
Model yang diadopsi untuk pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan adalah model pendidikan berbasis kebutuhan komunitas dan berbasis masyarakat nelayan dengan menyadarkan masyarakat nelayan akan pentingnya pendidikan bagi generasi penerus
G. SARAN
Sebaiknya anak nelayan memasuki sekolah non formal yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan dasar bagi anak nelayan
Pemerintah perlu turun tangan untuk memotivasi masyarakat nelayan perduli terhadap anak didik yang drop out, dengan caramenunjukan keberhasl pendidikanakan meningkatkan teraf hidup generasi penerus.
Perlu dicari jalan keluar untuk meningkatkan fasilitas sekolah, yang kemungkinan besar dapat diatasi melalui program perduli sekolah nelayan
Para tokoh nelayan dikut sertakan dalam merancang bentuk pendidikan yang memungkinkan anak nelayan dapat sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri
Perlu disusun materi pelajaran yang dapat memacu anak didik berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan dasar bagi anak nelayan
Perlu direspons kebutuhan keterampilan khusus bagi anak perempuan nelayan yang memacu terbantuknya pembentukan sikap mandiri.
Posisi sekolah di lapangan yang ternyata cukup strategis tersebut sebaiknya dibarengi dengan perbaikan jalan masuk ke sekola tersebut
Perlu disadarkan masyarakat nelayan tentang pentingnya pendidikan dan perencanaan yang baik tentang pengelolaan keuangan untuk masa depan, dan memacu kreativitas untuk meningkatkan taraf hidup mereka sendiri.
Untuk mewujudkan model pendidikan dasar bagi anak nelayan perlu dikembangkan model pendidikan non formal yang mampu menyelesaikan masalah yang terjadi pada masyarakat nelayan, yang responsif terhadap penyelesaian problem pendidikan sesuai dengan konteks masyarakat nelayan itu sendiri
H. REKOMENDASI
Bentuk model pembelajaran yang direkomendasikan adalah sebagai berikut:
Model pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan yang akan dikembangkan merupakan model pendidikan non formal yaitu pendidikan dasar yang mampu menyelesaikan masalah yang terjadi pada masyarakat nelayan, yang responsif terhadap penyelesaian problem pendidikan sesuai dengan konteks masyarakat nelayan itu sendiri.
Dalam model pendidikan dasar ini dibentuk Sanggar Pembelajaran yang dikelola oleh warga nelayan, seperti home scholing dan dilaksanakan oleh kelompok kecil warga nelayan, yang terdiri dari 2-3 keluarga. Dari berbagai Sanggar Pembelajaran ini disatukan lagi dalam kelompok yang lebih besar yang diberi nama Kelompok Sanggar Komunitas Nelayan (KSKN), yang terdiri dari 10 Sanggar Pembelajaran. Dari berbagai KSKN tersebut disatukan dalam wadah Pendidikan Dasar Anak Nelayan (PDAN), yang selanjutnya dihubungkan dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) seperti Paket A dan B untuk mendapatkan legalitas sertifikat telah mengikuti pendidikan dasar. Sertifikat ini dapat digunakan untuk melanjtkan pada pendidikan mengah. Berkenaan dengan tenaga pendidik yang bertugas sebagai pembina dan tutor diusulkan untuk mendapat banruan dari Diknas setempat.
Model ini perlu dikembangkan lagi, dan model ini belum diuji cobakan. Oleh karena itu agar hasil pengembangan model ini menjadi lebih baik perlu dilakukan penelitian yang berkelanjutan dan lebih memperluas lokasi penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Himpitan Rentenir http://www.antara.co.id/arc/2007/3/26/nelayan-bayah-lebak-di-tengah-himpitan-rentenir
Indrawadi, (2009)Nasib Nelayan dan Potensi Kelautan http://www.geocities.com/minangbahari/artikel/nasibnelayan.html
Kearifan Tradisional Masyarakat Nelayan Lindungi Laut Kompas.Com Kamis, 26 Maret 2009, Jakarta
Mansur dan Mulyana (2007) Himpitan Rentenir http://www.antara.co.id/arc/2007/3/26/ nelayan-bayah-lebak-di-tengah-himpitan-rentenir
Ninda, Model Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Miskin Dalam Pengembangan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Laut Universitas Bengkulu
http://www.inherent-unib.net/simawa, Generated: 18 March, 2009, 16:18
Pangeman, Adrian P dkk (2002).Sumber Daya Manusia (Sdm) Masyarakat Nelayan
Makalah Kelompok A /TKL-Khusus Program Pasca Sarjana IPB http://tumoutou.net/702_05123/group_a_123.htm
Solihin A., (2004) Musim Paceklik Nelayan dan Jaminan Sosial
http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=7 diakses tanggal 27 Maret 2009
Ulumuddin, Ihya (2009) “Duapuluh Persen Nelayan Sumut Tidak Melaut” Analisa, analisadaily.com Selasa, 27 Januari 2009
Sejak dari dahulu sampai sekarang, pekerjaan nelayan merupakan pekerjaan turun temurun dan umumnya tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Dalam masyarakat nelayan ditemukan adanya kelas pemilik dan kelas pekerja. Kelas pemilik yang dapat dinyatakan sebagai juragan, kesejahteraannya relatif lebih baik karena menguasai faktor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap maupun faktor pendukungnya seperti es, garam dan lainnya. Kelas pekerja atau penerima upah dari pemilik merupakan mayoritas, dan kalaupun mereka berusaha memiliki sendiri alat produksi, umumnya masih sangat konvensional, sehingga produktivitasnya kurang berkembang, “...kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan”. (Ninda, 2009). Menurut data, jumlah nelayan di Sumut sekitar 321.000 orang yang tersebar di 13 kabupaten dan kota, dan dari jumlah tersebut, nelayan tradisional mencapai 70 persen, nelayan menengah 20 persen dan nelayan skala besar 10 persen. Berarti, nelayan yang termarginalkan adalah sekitar 70 persen dari jumlah nelayan (sekitar 224 ribu lebih) nelayan masih berada di bawah garis kemiskinan. (Ulumuddin, 2009) Dengan demikian pembahasan masyarakat nelayan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah nelayan tradisonal.
Waktu bekerja nelayan harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari satu bulan namun sayangnya yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari, sisanya
mereka relatif menganggur. Kenyatannya, bila perairan di Sumatera utara dilanda angin barat daya yang bertiup cukup kencang, mengakibatkan terjadi ombak besar, khususnya di wilayah pantai barat seperti Sibolga, Tapanuli Tengah, Nias dan Tapanuli Selatan dengan ketinggian sekitar empat meter. Sedangkan di wilayah pantai timur seperti Belawan, Deli Serdang, Asahan dan Tanjung Balai, ketinggian ombaknya sekitar dua meter. Kondisi itu menyebabkan nelayan di Sumut yang umumnya masih tergolong nelayan tradisional tidak berani melaut karena khawatir terhadap keselamatan jiwa. Namun, sebagian nelayan tetap memaksakan diri melaut meski harus menghadapi besarnya ombak dan tidak mendapatkan ikan yang cukup banyak. Kelompok nelayan ini tetap memaksakan diri karena kebutuhan rumah tangga disebabkan tidak memiliki uang pada masa kritis. "Mereka (nelayan) berprinsip, lebih baik mati di laut dari pada dapur tidak berasap," (Ulumuddin, 2009).
Nampaknya masyarakat nelayan sulit dilepaskan dari jebakan kemiskinan, karena mereka sering dihadapkan pada musim paceklik, dan untuk mengatasi masalah di musim paceklik ini, berbagai usaha dilakukan nelayan, contohnya adalah mereka menjual perhiasan istri demi menyambung hidup keluargnya ataupun meminjam pada rentenir (Solihin, 2004). Potret kehidupan nelayan kecil di pesisir memang belum terlepas dari jerat rentenir, bahkan kian hari jerat itu dirasakan semakin melilit. Utang ke rentenir telah membuat nelayan terjebak dalam kemiskinan terstruktur, sehingga kehidupan nelayan tak kunjung sejahtera. Lebih parah lagi, ”pulang melaut umumnya para nelayan hanya cukup membeli beras sebanyak dua liter”, karena tersangkut pinjaman rentenir dengan bunga yang ditetapkan mereka. (Sinar Indonesia Baru, 27 Maret 2008)
Umumnya, nelayan bisa bertahan hanya dan hanya jika didorong semangat hidup yang kuat dengan motto kerja keras agar kehidupan mereka menjadi lebih baik. Nelayan tradisional berjuang keras melawan terpaan gelombang laut yang dahsyat pada saat pasang naik untuk mendapatkan ikan. Dengan hanya mengandalkan kemampuan mesin dompeng misalnya, nelayan dapat berada pada radius 500 M dari pinggir pantai dan dengan cara seperti ini nelayan akan mendapatkan lebih banyak dibandingkan dengan bila menangkap ikan di bibir (tepi pantai) pada radius 200 M, yang ikannya sudah langka. (Kompas Com, 26 Maret 2009)
Pekerjaan menangkap ikan dikerjakan oleh lelaki karena merupakan pekerjaan yang penuh resiko, sehingga keluarga yang lain tidak dapat membantu secara penuh. Kalaupun nelayan pekerja memiliki alat produksi sendiri ternyata alat tangkap ikan yang dimiliki tersebut belum dilengkapi dengan alat teknologi tangkap ikan, dan modal usaha, sehingga penghasilannya tidak seperti bila mereka menggunakan alat teknologi tangkap ikan yang baik. Bagi para nelayan memang tidak ada pilihan lain, karena pekerjaan yang berhadapan dengan ancaman gelombang laut, ombak, cuaca, dan kemungkinan terjadi karam saat akan melaut ke tengah lautan untuk menangkap ikan adalah pekerjaan turun temurun tanpa pernah belajar sebagai nelayan yang modern. Dengan demikian sangat diharapkan sekali walaupun harapan tersebut :...bagaikan kerakap tumbuh di batu, bahwa mereka perlu modal usaha untuk perbaikan dan peningkatan kesejahteraan hidup.(Pangeman, Adrian P dkk. 2002). Kenyataannya, pada usia meningkat remaja anak nelayan mulai diajak berlayar dan ikut melaut, sehingga merka jarang yang sekolah. Kini harus dipahami bahwa kehidupan nelayan memerlukan perhatian yang multi dimensi. Tantangan yang terbesar adalah bagaimana membangun kehidupan nelayan menjadi meningkat kesejahterannya. Besar kemungkinannya hal ini dapat dicapai melalui pendidikan yang akan mengangkat harkat dan martabat kehidupan masyarakat nelayan maupun masyarakat lainnya yang terkait dengan sumber daya kelautan dan pesisir. “Usaha ke arah ini haruslah bermuara pada peningkatan kemakmuran nelayan, terutama nelayan kecil dan petani ikan” (Indrawadi, 2009).
Dengan demikian, masalah sosial budaya yang terdapat pada kehidupan nelayan antara lain adalah: a) Rendahnya tingkat pendidikan, b) Miskin pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaannya, c) Kurangnya tersedia wadah pekerjaan informal dan d) Kurangnya daya kreativitas, serta e) Belum adanya perlindungan terhadap nelayan dari jeratan para tengkulak.
Melihat kondisi kehidupan nelayan yang tidak memungkinkan anak nelayan memasuki sekolah formal karena keberadaan anak nelayan dimaksudkan untuk membntu ayahnya mencari ikan ke laut. Kini dlpertanyakan bagaimanakah model pendidikan bagi anak nelayan, apakah pendidikan anak nelayan memerlukan pendidikan khusus sebagaimana halnya juga dengan anak petani miskin yang membantu orang tuanya di sawah? Melihat kehadiran anak nelayan di sekolah formal lebih banyak absennya karena ikut melaut membantu orang tuanya, apakah anak nelayan perlu mendapat pendidikan khusus di sekolah formal? Ataukah anak nelayan diberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan membantu orang tua kelaut?
Pemberdayaan anak nelayan ternyata tidak bisa diseragamkan, tetapi harus disesuaikan dengan kondisi aktual masyarakat setempat. Misalnya saja pendidikan manajemen keuangan yang diharapkan memungkinkan mereka terbebas dari jeratan tengkulak, harus diberikan dengan memperhatikan budaya dan kondisi psikologis mereka. Jika ini tidak diperhatikan, dipastikan program pemberdayaan pendidikan akan gagal karena pemberdayaan pendidikan anak nelayan tidak terlepas dari pemberdayaan masyarakat pesisir. Persoalan yang dihadapi adalah, sebagian masyarakat pesisir masihberanggapan bahwa pendidikan itu tidak penting. Yang perlu dilakukan adalah membalik paradigma nelayan selama ini, dengan menyatakan bahwa pendidikan itu penting.
Dengan demikian beralasanlah bila anak nelayan perlu dicarikan model pendidikan dasar yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan kehidupan mereka. Kini dipertanyakan bagaimanakah model pendidikan dasar yang sesuai bagi anak nelayan? Melalui penelitian khusus untuk pendidikan dasar bagi anak masyarakat nelayan, akan terungkap kemungkinan bentuk pendidikan yang sesuai bagi masyarakat nelayan.
Masyarakat nelayan dalam penelitian ini adalah masyarakat nelayan trdisional Sumatera Utara. Model yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah model pendidikan dasar bagi anak nelayan, bukanlah model pendidikan dasar pada sekolah formal, dan kemungkian besar berbeda dengan pendidikan dasar yang sudah ada. Kini masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah alternatif model pendidikan dasar pada masyarakat nelayan? Tujuan penelitian ini adalah mengkaji model pendidikan dasar untuk anak masyarakat nelayan agar mereka dapat sekolah dan terpenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat nelayan, dan lebih jauh lagi pada gilirannya kelak mereka akan terbebas dari kemiskinan.
B. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik yakni suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang realitas pada obyek yang diteliti secara obyektif. Penelitian ini menekankan pada satu variabel yakni pengembangan model pendidikan berbasis kompetensi bagi anak usia sekolah pada masyarakat nelayan.
Penelitian ini dilakukan di tiga lokasi yaitu, Tanjung Balai, Serdang Bedagai, dan Langkat/ Pemilihan lokasi penelitian ini dimaksudkan karena agar informasi yang diperoleh dapat mewakili nelayan di Sumatera Utara. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh nelayan yang menempati pesisisr pantai Sumtera Utara yang diwakili oleh sampel yang diambil secara purposif terhadap nelayan di Tanjung Balai, Nelayan Serdang Bedagai dan Nelayan Langkat, dengan cara Accidental sample yaitu teknik pengambilan sample berdasarkan kesediaan responen untuk mengisi kuesioner baik dari sisi waktu dan pemikiran, dan masing-masing daerah ditentukan sampel adalah 50 orang. Sehingga besar sampel adalah 150 orang.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang digunakan untuk memperoleh informasi responden dalam arti tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui dalam penelitian.Pengamatan (observasi), yaitu teknik pengumpulan data melalui pengamatan langsung kepada obyek penelitian dilakukan bersamaan dengan teknik lain untuk mengamati keadaan fisik, lokasi atau daerah penelitian secara sepintas lalu (on the spot) dan dengan melakukan pencatatan seperlunya. Teknik analisis deskriptif dalam hal ini antara lain penyajian data melalui tabel atau grafik. Perhitungan data dengan menggunakan frekuensi dan penggunaan prosentase.
C. HASIL PENELITIAN
Berdasarkan dari hasil survey di apangan terhadap kehidupan masyarakat nelayan, ditemukan berbagai data sebegai berikut:
1. Jenjang, Jumlah Dan Angka Drop Out
Tabel 1. Jumlah Siswa Yang Drop Out
Jenjang Pendidikan Sekolah
Jumlah Sekolah
Drop Out
%
SD Negeri
SD Swasta
SMP Negeri
SMP Swasta
28
1
2
6
240
180
58
260
32.52
24.39
7.86
35.23
Total
738
100
Dari Tabel 1 dapat terlihat bahwa jumlah siswa drop out untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama baik negeri maupun swasta adalah sebesar 738 orang, dan untuk SD Negeri siswa yang drop out adalah 32,52 persen dari keseluruhan siswa yang drop out, sedangkan pada SD swasta terdapat sekitar 24,39 persen dari keseluruhan siswa yang drop out. Hal ini berarti disekolah dasar negeri walaupun persentasinya lebih besar namun bila dibandingkan dengan jumlah SD Negeri yang ada (28 SD Negeri), ternyata lebih kecil jumlah siswa yang drop out dibandingkan dengan SD swasta (1 buah SD Swasta). Demikian pula halnya dengan persentase siswa SMP yang drop out, ternyata siswa yang drop out pada SMP Swasta lebih besar dibandingkan dengan persentase siswa yang drop out di SMP Negeri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa yang drop out baik untuk SD maupun SMP ternyata lebih banyak siswa yang drop out di SMP Swasta dibandingkan dengan siswa yang drop out di sekolah negeri.
2. Mata Pencarian Orang Tua
Tabel 2. Mata Pencarian Orang Tua Siswa
Pekerjaan Orang Tua
Persentase
Nelayan yg memiliki boat
Nelayan yg memilki perahu
Buruh Nelayan
Pedagang
Petani
Buruh Petani
PNS
ABRI
15
20
15
8
15
20
5
2
Total
100
Dari Tabel 2 dapat terlihat bahwa mata pencarian orang tua siswa bervariasi, dari nelayan sampai dengan ABRI. Ternyata mata pencarian orang tua siswa sekitar 50 persen terdiri dari nelayan, selebihnya yaitu sekitar separuhnya, adalah Pedagang, Petani, Buruh Petani, PNS, dan ABRI. Dari 50 persen mata pencarian orang tua murid adalah nelayan, ternyata lebih banyak nelayan tradisional dan buruh nelayan dibandingkan dengan nelayan modern (mengunakan boat) yang menyekolahkan anaknya. Hal ini berarti baik nelayan modern maupun tradisonal dan buruh nelayan, menginginkan anaknya bersekolah. Namun karena kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, maka dapat diduga siswa yang drop out adalah lebih banyak berasal dari anak nelayan
Tabel 3. Masyarakat Nelayan dalam Pendidikan
Aktivitas
Respons
1. Dukungan orang tua, masyarakat, dalam mendorong dan membantu anaknya sekolah
Cukup
2. Peran masyarakat thdp anak yang drop out di lingkungan masyarakat
Tidak ada
3. Pemanfaatan fasilitas lingkungan untuk anak usia sekolah di lingkungan
Cukup memadai
4. Hubungan masyarakat sekitar sekolah dengan sekolah dalam mendorong anak-anak usia sekolah belajar di sekolah
Cukup Memuaskan
Dari Tabel 3 terlihat bahwa dukungan orang tua, masyarakat, dalam mendorong dan membantu anaknya sekolah adalah cukup, yang berarti masyarakat nelayan berkeinginan agar anaknya sekolah, walaupun dengan kondisi yang pas-pasan dan terkadang karena kebutuhan hidup akhirnya anak nelayan menjadi drop out, tidak sekolah lagi. Lebih parah lagi ternyata peran masyarakat terhadap anak yang drop out di lingkungan masyarakat, tidak ada dan kemungkinan besar masing-masing keluarga disibuki oleh kesibukannya masing-masing untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan fasilitas lingkungan untuk anak usia sekolah di lingkungan dapat dinyatakan cukup memadai, yang berarti tidak rotan akarpun jadi, paling tidak fasilitas yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin walaupun tidak mencukupi. Berkenaan dengan hubungan masyarakat sekitar sekolah dengan sekolah dalam mendorong anak-anak usia sekolah belajar di sekolah, dapat dinyatakan cukup memuaskan. Hal ini berarti bahwa keberadaan sekolah di lokasi nelayan tersebut memberi pengaruh yang baik bagi masyarakat nelayan karena mereka juga mendapat imbasnya dari kecerdasan anak-anak yang telah bersekolah. Hanya kondisi dan kebutuhan serta kebiasaan nelayan sajalah yang membuat terjadinya siswa yang drop out tersebut.
3. Pandangan orang tua dan anak nelayan
Tabel 4. Pandangan Orang Tua terhadap Pendidikan
Aktivitas Nelayan
Respons
1. Motivasi Nelayan untuk menyekolahkan anaknya.
2. Harapan nelayan terhadap anak lelakinya.
3. Harapan nelayan terhadap anak perempuannya
4. Model pendidikan yang diinginkan nelayan (formal atau non formal),
5. Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk diberikan kepada anaknya:
6. Keterampilan khusus yang diinginkan orang tua diberikan guru terhadap anaknya,
7. Pemahaman Nelayan tentang Pendidikan anak nelayan
Kurang sekali
Membantu orang tua kelaut
Membantu ibunya di rumah Non formal
Berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga.
Menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang kurang sekali
Dari Tabel 4 terlihat bahwa motivasi Nelayan untuk menyekolahkan anaknya, kurang sekali, hal ini berarti para nelayan perlu dimotivasi agar anaknya diberi kesempatan untuk sekolah pada masa usia sekolah. Namun karena keterbatasannya kebanyakan anak nelayan terpaksa membantu orang tuanya melaut. Dari data tentang harapan nelayan terhadap anak lelakinya hanyalah dapat membantu orang tua kelaut, dan untuk anak perempuan membantu ibunya di rumah. Hal ini berarti menjelang usia remaja seharusnya anak nelayan tadi telah menamatkan sekolahnya pada sekolah dasar, sehingga pengetahuan yang diperolehnya dapat dimanfaatkan untuk membantu orang tuanya mencari nafkah di laut.
Berkenaan dengan model pendidikan yang diinginkan nelayan, dari hasil wawancara ternyata sebaiknya anak nelayan dapat sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, yaitu model sekolah non formal, sehingga anak nelayan dapat bersekolah dan sekaligus dapat membantu orang tuanya bekerja di laut.
Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk diberikan kepada anaknya antara lain berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga. Dengan memiliki pengetahuan dan kompetensi seperti ini, diharapkan kelak anaknya dapat mengangkat harkat dan martabat orang tuanya sekaligus mengangkat taraf hidup masyarakat nelayan. Berkenaan dengan keterampilan khusus yang diinginkan orang tua, yang diberikan guru terhadap anak perempuannya, antara lain menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang.Hal iniberarti selain membantu ibunya anak perempuan nelayan pada suatu saat nanti dapat emacu kreativitasnya untuk bekerja bidang lain, selain sebagai anak nelayan. Sayangnya pemahaman nelayan tentang pendidikan anak, ternyata kurang sekali, bertani nelayan hanya pasrah agar anaknya sekolah apa saja, yang penting kelak anaknya dapat menopang kehidupan orang tuanya lebiha baik dibandingkan dari kehhidupan saat ini.
Dengan demikian pada saat ini pandangan orang tua terhadap pendidikan anaknya sangat kurang sekali, juga pandangan anaknya terhadap pendidikan kurang sekali, karena lingkunganya mempengaruhi, dan adanya suatu tekad dapat ikutserta membantu orang tua ke laut
4. Partisipasi Masyarakat
Dari hasil wawancara dengan para tokoh masyarakat nelayan ternyata pandangan masyarakat terhadap pentingnya pendidikan anak nelayan sangat kurang dan tidak ada peran masyarakat terhadap usaha meninkatkan pendidikan anak nelayan. Hal ini berarti perlu usaha memberikan inovasi paradigma berpikir masyarakat nelayan agar mau memperdulikan pendidikan anaknya, agar anaknya dapat memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan orang tuanya sendiri. Perlu dibangkitkan partisipasi masyarakat nelayan yang cukup kuat untuk mengadopsi paradigma berpikir nelayan agar lebih maju dan bermartabat sebagai akibat berubahnya pemikiran nelayan terhadap kebutuhan pendidikan bagi anak nelayan.
5. Tenaga Kependidikan dan Pembelajaran
Tabel 5. Latar belakang pendidikan guru
Aktivitas Nelayan
Respons
Motivasi Nelayan untuk menyekolahkan anaknya.
2. Harapan nelayan terhadap anak lelakinya.
3. Harapan nelayan terhadap anak perempuannya
4. Model pendidikan yang diinginkan nelayan
5. Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk
diberikan kepada anaknya:
6. Keterampilan khusus yang diinginkan orang tua
7. Pemahaman Nelayan ttg Pendidikan anak nelayan
Kurang sekali
Membantu orang tua kelaut
Membantu ibunya di rumah
Pendidikan Non formal
Berhitung, menulis, membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia,
Mengelola uang dan olah raga.
menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang
kurang sekali
Pendidikan Guru
Persentasi
SPG/PGA
PGSD D2
Sarjana IKIP Medan
Sarjana non IKIP
Sarjana Pendidikan
Sarjana non pendidikan
Sarjana Agama Islam
Dan lain-lain
30
20
10
15
10
5
5
5
Total
100
Dari Tabel 5 terlihat bahwa kualifikasi tenaga kependidikan cukup bervariasi. Tenaga pendidik berkualifikasi dari tamatan SPG/PGA sampai dengan sarjana agama Islam, bahkan profesi lain turut berperan dalam membangun kecerdasan bagi masyarakat nelayan. Sarjana non pendidikan hanya sekitar 5 persen saja dan Sarjana Agama Islam, dan profesi lain-lain berkisar samapai 10 persen. Hal ini berarti tenaga sarjana kependidikan lebih banyak berperan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat.
6. Pelatihan, sarana, dan kondisi lingkungan
Pelatihan bagi guru diperlukan untuk meningkatkan keterampilan proses belajar mengajar, yang biasanya dilakukan bergiliran sesuai dengan kebutuhan sekolah. Sarana sekolah secara keseluruhan dapat dinyatakan ada, walaupun sekedar memenuhi persyaratan adanya suatu sekolah, namun bagi sekolah yang dapat menghidupi sekolahnya sendiri, terlihat tidak begitu mengecewakan kondisi sarana di sekolah tersebut.
7. Infra Struktur Pendidikan
a. Ketersedian kelengkapan sekolah dapat dinyatakan cukup, walaupun di sana sini masih menunjukan keprihatinan, namun ada juga yang sudah meningkat dan dapat dikedepankan.
Tabel 6. Akses Jalan Masuk Ke Sekolah
Akses jalan ke sekolah
Jalan aspal Kelas kecamatan
Jalan pengerasan dengan pasir dan batu
Jalan becek dan berlumpur
Jalan setapak
Berkenaan dengan jalan masuk ke sekolah dapat dinyatakan bervariasi. Ada sekolah yang mudah mencapainya karena terletak pada jalan spal kelas kecamatan, namun ada juga jalan masuk ke sekolahnya hanya alan pengerasan dengan pasir dan batu. Bahkan lebih memprihatinkan lagi karena jalan masuk ke sekolahnya becek dan berlumpur ataupun hanya jalan stapak. Hal ini merupakan pertanda bahwa jalan masuk ke sekolah perlu diperbaiki ataupun ditingkatkan menjadi lebih baik lagi agar baik guru maupun siswa merasa senang dan betah ke sekolah
b. Posisi strategis sekolah
Hal lain yang perlu diperhatikan, ternyata posisi sekolah di lapangan ternyata cukup strategis, mudah dijangkau walaun mungkin hanya jalan stapak, ataupun malah becek dan berlumpur. Kini hanya menungu uluran tangan penguasa untuk ,membenahi sekolah-sekolah tersebut.
D. DISKUSI HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil temuan dilapangan ternyata siswa yang drop out baik untuk SD maupun SMP ternyata lebih banyak siswa yang drop out di SMP Swasta dibandingkan dengan siswa yang drop out di sekolah negeri. Selain itu baik nelayan modern maupun tradisonal dan buruh nelayan, menginginkan anaknya bersekolah. Namun karena kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, maka dapat diduga siswa yang drop out adalah lebih banyak berasal dari anak nelayan. Masyarakat nelayan berkeinginan agar anaknya sekolah, walaupun dengan kondisi yang pas-pasan dan terkadang karena kebutuhan hidup akhirnya anak nelayan menjadi drop out, tidak sekolah lagi. Sayangnya tidak ada peran masyarakat yang perduli terhadap anak yang drop out tersebut, hal ini mungkin masing-masing keluarga larut oleh kesibukannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Fasilitas yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin walaupun tidak mencukupi, dan dorongan untuk sekolah, cukup memuaskan, sehingga keberadaan sekolah dirasakan berdampak pada meningkatnya kecerdasan anak-anak yang telah bersekolah. Hanya kondisi dan kebutuhan serta kebiasaan nelayan sajalah yang membuat terjadinya siswa yang drop out tersebut
Berkenaan dengan model pendidikan yang diinginkan nelayan, dari hasil wawancara terhadap para tokoh nelayan, dinyatakan bahwa perlu dirancang bentuk pendidikan yang memungkinkan anak nelayan dapat sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, seperti sekolah non formal, sehingga anak nelayan dapat bersekolah dan sekaligus dapat membantu orang tuanya bekerja di laut.
Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk diberikan kepada anaknya antara lain berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga, dengan harapan kelak anaknya dapat mengangkat harkat dan martabat orang tuanya sekaligus mengangkat taraf hidup masyarakat nelayan. Keterampilan khusus yang diinginkan orang tua untuk anak perempuannya, antara lain menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang, dengan harapan selain membantu ibunya anak perempuan nelayan pada suatu saat nanti dapat memacu kreativitasnya untuk bekerja di bidang lain, selain sebagai anak nelayan. Sayangnya pemahaman nelayan tentang pendidikan anak, ternyata kurang sekali, yang penting kelak anaknya dapat menopang kehidupan orang tuanya lebih baik dibandingkan dari kehidupan saat ini.
Perlu dibangkitkan partisipasi masyarakat nelayan yang cukup kuat untuk mengadopsi paradigma berpikir nelayan agar lebih maju dan bermartabat sebagai akibat berubahnya pemikiran nelayan terhadap kebutuhan pendidikan bagi anak nelayan. Sementara itu tenaga pendidik yang tersedia mengelola pendidikan bagi anak nelayan cukup baik ditandai dengan telah berperannya tenaga sarjana kependidikan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat. Dari pantauan terhadap posisi sekolah di lapangan ternyata cukup strategis, mudah dijangkau walaun mungkin hanya jalan stapak, ataupun malah becek dan berlumpur. Kini hanya menungu uluran tangan penguasa untuk ,membenahi sekolah-sekolah tersebut. Dengan demikian dapat dibutiri dari hasil diskusi tentang pendidikan anak nelayan bahwa masyarakat nelayan memiliki sifat khusus yang berbeda dengan masyarakat non nelayan, yang memungkinkan anak tidak dapat sekolah karena lebih banyak membantu orang tua kelaut. Selain itu rendahnya tingkat pengetahuan membuat rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan. Kondisi seperti ini diperparah lagi dengan tidak adanya perencanaan pengelolaan keuangan yang baik untuk masa depan, dan tidak terpacunya kreativitas karena kepasrahan dan terbatasnya wawasan meningkatkan taraf hidup mereka sendiri.
E. MODEL PENDIDIKAN ANAK NELAYAN
Mengingat masyarakat nelayan adalah masyarakat yang memiliki sifat-sifat khusus, baik dari segi pemahaman terhadap pendidikan, tingkat kesejahteran, miskinnya pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaan, kurang kreatif, maupun kurang terencana manajemen keuangan untuk menentukan masa depan, maka model yang dianut adalah model pemberdayaan nelayan melalui pendidikan berbasis kebutuhan komunitas dan berbasis masyarakat nelayan. Konsep pendidikan berbasis komunitas nelayan pada dasarnya mengacu kepada konsep pemberdayaan komunitas nelayan, yaitu bagaimana membuat komunitas pada masyarakat nelayan memiliki pandangan perlunya pendidikan dasar bagi anak nelayan. Hal ini disebabkan sebagian masyarakat pesisir masih beranggapan bahwa pendidikan itu tidak penting dan kini saatnya menyadarkan masyarakat nelayan bahwa bahwa pendidikan itu penting.
Pada tahun 1970-an Ivan Illich pernah melontarkan gagasan kontroversial tentang masyarakat tanpa sekolah (Deschooling Society). Illich meramalkan, jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar, institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial budaya yang luas, tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah. Jadi pengorganisasian pendidikan sistem formal bukanlah menjadi satu-satunya jalan keluar. Oleh karena itu model pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan yang harus dikembangkan merupakan model pendidikan non formal yaitu pendidikan dasar yang mampu menyelesaikan masalah yang terjadi pada masyarakat nelayan, yang responsif terhadap penyelesaian problem pendidikan sesuai dengan konteks masyarakat nelayan itu sendiri.
Dalam model pendidikan dasar ini dibentuk Sanggar Pembelajaran yang dikelola oleh warga nelayan, seperti home scholing dan dilaksanakan oleh kelompok kecil warga nelayan, yang terdiri dari 2-3 keluarga. Dari berbagai Sanggar Pembelajaran ini disatukan lagi dalam kelompok yang lebih besar yang diberi nama Kelompok Sanggar Komunitas Nelayan (KSKN), yang terdiri dari 10 Sanggar Pembelajaran. Dari berbagai KSKN tersebut disatukan dalam wadah Pendidikan Dasar Anak Nelayan (PDAN), yang selanjutnya dihubungkan dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) seperti Paket A dan B untuk mendapatkan legalitas sertifikat telah mengikuti pendidikan dasar. Sertifikat ini dapat digunakan untuk melanjtkan pada pendidikan mengah. Berkenaan dengan tenaga pendidik yang bertugas sebagai pembina dan tutor diusulkan untuk mendapat banruan dari Diknas setempat.
E. KETERBATASAN PENELITIAN
Bagaimana baiknya hasil suatu penelitian kenyatannya tetap saja ada keterbatasa hasil penelitian yang tidak bisa dielakkan. Mengingat lokasi penelitian hanya dilaksanakan pada tida lokasi desa nelayan yaitu di Tanjung Balai, Serdang Bedagai dan langkat, maka untuk generalisasi hasil penelitian ini perlu dilakukan dengan hati-hati. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan penelitian awal penjajagan untuk merancang model pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan. Walaupun demikian model yang ditemukan dari hasil penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan meninjau berbagai hasil penelitian yang menunjang.
F. SIMPULAN,
Banyak siswa pendidikan dasar yang drop out dari sekolah formal dan umumnya berasal dari anak nelayan.
Kurangnya peran masyarakat terhadap anak didik yang drop out kemungkinan besar masing-masing keluarga larut oleh kesibukannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Fasilitas yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin walaupun tidak mencukupi, dan dorongan untuk sekolah, cukup memuaskan, karena keberadaan sekolah dirasakan berdampak pada meningkatnya kecerdasan anak-anak yang telah bersekolah.
Para tokoh nelayan menginginkan perlunya merancang bentuk pendidikan yang memungkinkan anak nelayan dapat sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri, dan sekaligus dapat membantu orang tuanya bekerja di laut.
Materi pelajaran yang dinginkan nelayan untuk diberikan kepada anaknya antara lain berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga, dengan harapan kelak anaknya dapat mengangkat harkat dan martabat orang tuanya sekaligus mengangkat taraf hidup masyarakat nelayan.
Keterampilan khusus yang diinginkan orang tua untuk anak perempuannya, antara lain menjahit, memasak, budi daya ikan, budidaya terumbu karang, hiasan kulit kerang, dengan harapan selain membantu ibunya anak perempuan nelayan pada suatu saat nanti dapat memacu kreativitasnya untuk bekerja di bidang lain, selain sebagai anak nelayan.
Posisi sekolah di lapangan ternyata cukup strategis, mudah dijangkau walaun mungkin hanya jalan stapak, ataupun malah becek dan berlumpur..
Masyarakat nelayan memiliki sifat khusus yang memungkinkan anak tidak dapat sekolah karena lebih banyak membantu orang tua kelaut. Selain itu rendahnya tingkat pengetahuan membuat rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan. Kondisi seperti ini diperparah lagi dengan tidak adanya perencanaan pengelolaan keuangan yang baik untuk masa depan, dan tidak terpacunya kreativitas karena kepasrahan dan terbatasnya wawasan meningkatkan taraf hidup mereka sendiri
Model yang diadopsi untuk pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan adalah model pendidikan berbasis kebutuhan komunitas dan berbasis masyarakat nelayan dengan menyadarkan masyarakat nelayan akan pentingnya pendidikan bagi generasi penerus
G. SARAN
Sebaiknya anak nelayan memasuki sekolah non formal yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan dasar bagi anak nelayan
Pemerintah perlu turun tangan untuk memotivasi masyarakat nelayan perduli terhadap anak didik yang drop out, dengan caramenunjukan keberhasl pendidikanakan meningkatkan teraf hidup generasi penerus.
Perlu dicari jalan keluar untuk meningkatkan fasilitas sekolah, yang kemungkinan besar dapat diatasi melalui program perduli sekolah nelayan
Para tokoh nelayan dikut sertakan dalam merancang bentuk pendidikan yang memungkinkan anak nelayan dapat sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nelayan itu sendiri
Perlu disusun materi pelajaran yang dapat memacu anak didik berhitung, menulis dan membaca, budi pekerti, dan akhlak mulia, mengelola uang dan olah raga yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan dasar bagi anak nelayan
Perlu direspons kebutuhan keterampilan khusus bagi anak perempuan nelayan yang memacu terbantuknya pembentukan sikap mandiri.
Posisi sekolah di lapangan yang ternyata cukup strategis tersebut sebaiknya dibarengi dengan perbaikan jalan masuk ke sekola tersebut
Perlu disadarkan masyarakat nelayan tentang pentingnya pendidikan dan perencanaan yang baik tentang pengelolaan keuangan untuk masa depan, dan memacu kreativitas untuk meningkatkan taraf hidup mereka sendiri.
Untuk mewujudkan model pendidikan dasar bagi anak nelayan perlu dikembangkan model pendidikan non formal yang mampu menyelesaikan masalah yang terjadi pada masyarakat nelayan, yang responsif terhadap penyelesaian problem pendidikan sesuai dengan konteks masyarakat nelayan itu sendiri
H. REKOMENDASI
Bentuk model pembelajaran yang direkomendasikan adalah sebagai berikut:
Model pendidikan dasar bagi masyarakat nelayan yang akan dikembangkan merupakan model pendidikan non formal yaitu pendidikan dasar yang mampu menyelesaikan masalah yang terjadi pada masyarakat nelayan, yang responsif terhadap penyelesaian problem pendidikan sesuai dengan konteks masyarakat nelayan itu sendiri.
Dalam model pendidikan dasar ini dibentuk Sanggar Pembelajaran yang dikelola oleh warga nelayan, seperti home scholing dan dilaksanakan oleh kelompok kecil warga nelayan, yang terdiri dari 2-3 keluarga. Dari berbagai Sanggar Pembelajaran ini disatukan lagi dalam kelompok yang lebih besar yang diberi nama Kelompok Sanggar Komunitas Nelayan (KSKN), yang terdiri dari 10 Sanggar Pembelajaran. Dari berbagai KSKN tersebut disatukan dalam wadah Pendidikan Dasar Anak Nelayan (PDAN), yang selanjutnya dihubungkan dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) seperti Paket A dan B untuk mendapatkan legalitas sertifikat telah mengikuti pendidikan dasar. Sertifikat ini dapat digunakan untuk melanjtkan pada pendidikan mengah. Berkenaan dengan tenaga pendidik yang bertugas sebagai pembina dan tutor diusulkan untuk mendapat banruan dari Diknas setempat.
Model ini perlu dikembangkan lagi, dan model ini belum diuji cobakan. Oleh karena itu agar hasil pengembangan model ini menjadi lebih baik perlu dilakukan penelitian yang berkelanjutan dan lebih memperluas lokasi penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Himpitan Rentenir http://www.antara.co.id/arc/2007/3/26/nelayan-bayah-lebak-di-tengah-himpitan-rentenir
Indrawadi, (2009)Nasib Nelayan dan Potensi Kelautan http://www.geocities.com/minangbahari/artikel/nasibnelayan.html
Kearifan Tradisional Masyarakat Nelayan Lindungi Laut Kompas.Com Kamis, 26 Maret 2009, Jakarta
Mansur dan Mulyana (2007) Himpitan Rentenir http://www.antara.co.id/arc/2007/3/26/ nelayan-bayah-lebak-di-tengah-himpitan-rentenir
Ninda, Model Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Miskin Dalam Pengembangan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Laut Universitas Bengkulu
http://www.inherent-unib.net/simawa, Generated: 18 March, 2009, 16:18
Pangeman, Adrian P dkk (2002).Sumber Daya Manusia (Sdm) Masyarakat Nelayan
Makalah Kelompok A /TKL-Khusus Program Pasca Sarjana IPB http://tumoutou.net/702_05123/group_a_123.htm
Solihin A., (2004) Musim Paceklik Nelayan dan Jaminan Sosial
http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=7 diakses tanggal 27 Maret 2009
Ulumuddin, Ihya (2009) “Duapuluh Persen Nelayan Sumut Tidak Melaut” Analisa, analisadaily.com Selasa, 27 Januari 2009
Posting Komentar